Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Menjadi Penulis di Indonesia Adalah Pekerjaan Bunuh Diri?

 

Mengapa Menjadi Penulis di Indonesia Adalah Pekerjaan Bunuh Diri?

Menjadi penulis tentu saja adalah keinginan banyak orang, bahkan sampai ada ungkapan bahwa untuk menjadi manusia mengenal dunia, maka kita harus membaca buku. Dan bila kita ingin menjadi manusia yang terkenal di dunia, maka kita harus menjadi seorang penulis.

Ungkapan tersebut tentu benar adanya, bahkan Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis termasyhur di Indonesia pernah mengatakan bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Di Indonesia sendiri telah banyak penulis yang lahir setiap tahunnya, dan beberapa diantara mereka terkenal dan lebih banyak lagi yang tidak terkenal. Namun kendati demikian, kita harus mengetahui fakta menyakitkan yang mengatakan bahwa masyarakat kita adalah pembaca yang sangat minim. Dan kita tidak bisa menghindari fakta tersebut kendati kita memiliki banyak fakta yang mendorong kenyataan pahit tersebut.

Menulis Adalah Pekerjaan Bunuh Diri
Ilustrasi Menulis (Gambar dari Freepik)


Data-Data Tentang Parahnya Minat Baca di Indonesia

Diantaranya adalah yang telah tertulis pada  buku Jurnalistik Islami karangan Ahmad Y. Samantho, yang menuliskan sebuah penelitian terkait perbandingan pengajaran sastra di berbagai negara dan diterbitkan di harian Republika pada tahun 1997.

Penelitian tersebut dilakukan oleh para sastrawan-budayawan  dan penyair besar Taufiq Ismail via wawancara pada bulan Juli hingga Oktober 1997. Hasil tersebut adalah fakta bahwa negara Indonesia sungguh tertinggal jauh bila dibandingkan dengan 13 negara lain di dunia dalam pembelajaran sastra dan mengarang.

Padahal kemampuan berbahasa, mengarang/menulis dan mengapresiasi sastra sangatlah menentukan bangun runtuhnya kebudayaan dan peradaban bangsa ini di masa yang akan datang, terlebih pada era persaingan sejagat raya dimana batasan tidak lagi menjadi halangan.

Dalam penelitian dengan teknik wawancara tersebut, pengajaran sastra dan jumlah buku yang dibaca dan dibahas pada tingkat SMU didapatkan data sebagai berikut:

Singapura        : 6 judul

Malasyia          : 6 judul

Thailand Selatan         : 5 judul

Brunei Darussalam      : 7 judul

Jepang             : 15 judul

Kanada            : 13 judul

Amerika Serikat          : 32 judul

Jerman             : 22 judul

SMU International Swiss: 15 judul

Rusia   : 12 judul

Prancis : 20-30 judul

Belanda           : 30 judul

AMS Hindia Belanda (Indonesia zaman penjajahan Belanda)          : 25 Judul  

Dan yang terakhir adalah SMU Indonesia yang berjumlah 0 judul.

Padahal di masa penjajahan Belanda dulu, sekolah-sekolah yang setara SMU atau kerap disebut AMS melahap 25 judul novel dan karya sastra. Maka tidak mengherankan bagaimana AMS pada zamannya atau yang setara dengannya telah melahirkan K.H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Rosihan Anwar, Roeslan Abdulyani, Soedjatmoko, dan sederetan nama besar lainnya.

Bahkan tidak hanya itu, data dari UNESCO menyebutkan Indonesia berada pada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, hal tersebut memiliki arti bahwa minat baca penduduk Indonesia sangatlah rendah. Menurut data yang diambil dari UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Yang berarti, dari 1,000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.



Data tentang minimnya literasi di Indonesia semakin diperparah oleh riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret tahun 2016 lalu, riset itu menyebutkan bahwa Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal menurut penelitian tersebut, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Dan hal yang lebih mencengangkan lagi adalah sebuah fakta dimana Indonesia mendapatkan urutan kelima di dunia dalam kepemilikan gadget. Bahkan diperkirakan pada tahun 2018, pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang dan akan mengakibatkan Indonesia berada pada posisi keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika dalam penggunaan smartphone.  

Gadget
Ilustrasi Gadget(Gambar dari Pixabay)


Sebagai netizen +62, kita tentu tidak akan asing bagaimana Microsoft meletakkan kita sebagai pengguna media sosial yang paling barbar se-Asia, dan diperparah lagi dengan masyarakat Indonesia yang beberapa hari yang lalu salah menyerang aplikasi Restock.

Membaca buku faktanya membuat kita semakin bijak, dan data diatas tentu saja telah membuktikan bagaimana bijaknya masyarakat Indonesia dalam menyikapi permasalahan yang ada. Dan Hal inilah yang membuat saya berani berkata bahwa menjadi penulis di Indonesia adalah pekerjaan bunuh diri.

Namun kendati demikian, bukan berarti kita akan melepaskan impian kita, saya dan anda tentulah ingin menciptakan negara dengan literasi yang kuat sehingga kebudayaan kita akan tetap abadi selamanya. Dan melepaskan impian kita sebagai penulis tentu bukanlah solusi.

Tentu saja ada ribuan cara untuk membangkitkan literasi di Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menanamkan pentingnya literasi sejak dini pada anak dan remaja sekaligus menurunkan pemakaian gadget mereka.

Buku, apapun itu akan memberikan kita pemahaman baru dan ilmu baru, hal yang akan membawa kita atau anak didik kita menuju puncak pengetahuannya. Hal yang akan memberikan kita kebaikan di esok hari karena kita telah merubah kehidupan seseorang menjadi baik.

Pada tahun 2020, minat baca di Indonesia dikategeorikan sedang oleh Perpusnas, akan tetapi tentu saja kita harus terus melakukan perbaikan demi perbaikan karena masalah literasi adalah masalah kita bersama, dan sudah semestinya kita sebagai masyarakat Indonesia melakukan peran yang lebih untuk membuat Indonesia lebih baik dalam masalah literasi.


Kesimpulan:

Indonesia memiliki tingkat baca yang rendah yang mengakibatkan kita kurang bijak dalam melakukan banyak hal. Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001%. Yang berarti, dari 1,000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca

Tentu hal tersebut juga mendasari bagaimana kita sebagai masyarakat melakukan penyerangan terhadap salah satu aplikasi yang berakibat memalukan karena hal tersebut adalah suatu kesalahan. Namun Indonesia adalah Indonesia, masalah literasi adalah tanggung jawab kita bersama dan sudah seharusnya kita memerangi masalah literasi di Indonesia, bahkan dunia.


Posting Komentar untuk " Mengapa Menjadi Penulis di Indonesia Adalah Pekerjaan Bunuh Diri?"