Santri Killer Part IX : Zaalika Na’lun Ya Al’akh
Zaalika Na’lun Ya Al’akh
“maa haza?”
“zaalika na’klun”
“maa zalika?”
“zaalika qirthosun”
“jayyid jiddan,
al’an, man ya’rif bilugotil arobiyah…kemeja!”
Semua mengangkat tangan.
“anta ya akhi Sapar”
“lugotul arobiyah kemeja yakni..Qamishun ya al’akh!”
“jayyid! Anta maahir! Al’an Qariruba’di, Qolansuatun!”
“Qolansuatun!”
“bissautin aal! QOLANSUATUN!”
“QOLANSUATUN!”
Lonceng berdentang keras, satu kali, memberikan
petunjuk kepada seluruh penghuni kampung damai untuk bersiap-siap untuk
kegiatan berikutnya. Para organisasi dan muddabbir yang bertugas membagikan
mufrodat pun mengajak membernya untuk mengucapkan kalimat syukur. Dan setelah
itu, santri-santri berlarian, ada yang mengambil piring untuk makan, ada yang
mengambil gayung untuk dibawa pergi menuju hamam.
Ustad Rohman yang melihat itu tersenyum bahagia. Dulu
sekali, ia pernah menjadi santri, ia seperti mereka, bagaimana semangat muda
berlari menggetar bumi, seperti benih-benih baru yang bersemi diantara empat
musim. Bagaimana cerita bunga melati kepada burung hantu yang sering hinggap
diatasnya, dimana masa lalu adalah masa lalu, dan masa kini adalah masa kini.
Ia berjalan menapaki paving block yang berjejeran
seperti rumput, susuan paving itu begitu indah, simetris satu sama lainnya,
membuat ia begitu bahagia dipagi hari ini, karena ia dapat melihat air bekas
hujan semalam bercampur dengan embun-embun pagi yang merekah selepas fajar.
Walau sinar mentari belum benar terangnya namun cahaya
yang ditunggu tersebut telah membuat bunga mawar merindu. Bunga mawar yang
basah terkena air hujan tadi malam semakin merona merah delima, memberikan
kesan romantis kepada serangga ladybug yang menempel didedaunannya. Lalu
serangga itu mebuka sayap, dan terbang keangkasa, jauh melewati rerumputan liar
yang dipeluk embun.
Ustad Rahman masih berjalan dibawah naungan awan,
melihat sekeliling dan menghiru udara pagi dengan bangga, sementara pepohonan
seolah melambai karena semilir angin menggerakkan dedaunan, mengatakan selamat
pagi pada alam semesta.
Namun belum ustad Rahman benar-benar menikmatinya.
Sebuah lengkingan panjang membuka cerita baru untuk pagi. Sementara cahaya
mentari mulai merambati awan, perlahan-lahan mulai mengintip. Ada lagi yang
mati.
Llllll
Disanalah orang itu terbujur kaku, bersandar tembok
dengan lubang ditengah dadanya. Matanya melotot seperti malaikat dengan senang
hati mencabut nyawanya dengan sabit. Membuat kematian itu begitu terasa,
memberikan nuansa baru di pagi hari yang benar belum cerah.
Tidak ada yang mampu melihatnya untuk lima detik
karena kondisi mengenaskan itu benar-benar keterlaluan. Dihadapan santri itu
kini ada kawannya yang mati, dengan celana belum terpakai, dengan darah yang
menyatu bersama air selokan. Dengan lubang didadanya.
Anthony berteriak nyaring sekali dan wajahnya langsung
memucat. Ia ditangkap oleh Sandy dan Arief yang memang kebetulan bersama
memperebutkan sebuah kamar mandi. Anthony menarik napas, menguatkan hati
melihat satu lagi terbunuh paksa. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, menarik napas
berkali-kali, wajahnya seperti melihat hantu tanpa kepala.
Tak butuh waktu lama untuk para polisi datang kesana
dengan ustad Rohman yang hanya bisa beristigfar. Bagian keamanan segera
mengamankan santri yang mau tahu apa yang terjadi, dengan sekali bentakan santri-santri
itu terbirit-birit. Wajah garang bagian keamanan membuat santri mengambil
langkah seribu sebelum kena damprat lebih parah lagi.
“kamu lihat itu Adiya?”tanya Anzuru sembari berlari
menjauh, setelah berada ditempat yang cukup jauh dari tempat kejadian.
“aku tahu, siapa sih yang tega ganggu kita belajar?
Apa dia nggak mengerti kepada kita yang mencari ilmu? Kejamnya orang ini”
“lillahi ta’ala, rupa darahnya, ngalir dia ke
selokan”kata Febry, mengatur napas.
“bener”Arief memasuki arena percakapan”sumpah, gak
berani kulihat”
“gimana nih? Kita nggak dapat mandi di Sholahudin,
pasti dilarang”Anzuru mendelik.
“apalagi makan, hilang nafsuku”balas Adiya”coba kalian
lihat wajah Toni yang buka pintu hamam pertama kali, pucat sekali! Dia seperti
melihat hantu, hampir dia pingsan”
“ya benar, untung aku sempat tangkap dia,
ngomong-ngomong, siapa pelakunya?”
Mereka saling tatap, lalu tatapan terakhir mereka
jatuh kepada samping Yazid.
“ Astagfirullah! Zid, mana Azis? Bukannya dia
disampingmu barusan?”tanya Adiya panik, lebih panik daripada saat ia tahu kalau
minyak telonnya jatuh.
Yazid menoleh dan terkejut bukan main.
“Njir! Kemana anak itu?”
Llll
“tarik napas dalam dalam..bagus..tahan..tahan
lagi…tahan lagi lebih lama..sekarang… hembuskan”
Toni menghembuskan napasnya perlahan, namun wajahnya
memberikan roman shock yang luar biasa dahsyatnya. Toni menatap Azis dengan
pandangan jijik, dengan pelan ia berkata namun lirih.
“Zis, bisa kamu lebih serius? Aku shock, bukan hamil!”
Azis menepuk perut Toni dengan pelan, seperti seorang
ayah kepada perut istrinya yang membuncit”ah, tenanglah, hamil sama shock tidak
beda jauh kok”
“perbedaannya jauh banget Zis”
“kamu ini tidak percaya ya, aku dulu pernah ikut
dokter licik saat SD”
“maksudmu dokter cilik?”
“ya, dokter cilik yang licik”
Toni menarik napas sekali lagi, lebih lama. Bertemu
dengan anak disampinya ini sama saja dengan bertemu dukun online, tidak mungkin
sembuh. Ia tahu kalau sifat kawannya yang satu ini masih terlalu
kekanak-kanakan walau caranya berpikir bisa dibilang termasuk dewasa. Namun ia
pasti punya akal, akal untuk mencari tahu apa yang membuat temannya terbunuh.
“boleh aku bertanya? Bagaimana kamu bisa lolos dari
sergapan keamanan”
“aku bilang kepada keamanan kalau aku bawa minyak
telon untukmu, akhirnya, aku dikasih lewat”
“dan milik siapa minyak telon itu?”
“entahlah, sepertinya Adiya”
“kamu gosop?”
“nggak kok, aku tanpa sengaja senggol tangan Adiya dan
minyak kayu putih ini terjatuh”
“kamu yakin tanpa sengaja senggol tangan Adiya?”
“mungkin”
Toni menepuk wajahnya dengan kedua belah tangannya. Ia
tahu persis kalau ini pasti akal Azis agar dapat informasi darinya. Dalam
hitungan beberapa detik, anak polos dihadapannya ini akan berubah kepo bukan
main, lebih kepo daripada Dora the Explorer mencari kitab suci bersama biksu
Tong.
“apa yang kamu lihat saat buka pintu itu Anthony?”
“sudah kuduga kamu akan bertanya, aku tidak tahu, aku
berteriak dengan keras, ok?”
“seberapa besar lubang—“
“aku tidak tahu”
“bagaimana bisa Johan—“
“aku tidak tahu”
“mengapa Johan—“
“AKU TIDAK TAHU!”
Semua orang menoleh, ustad Rohman menoleh,
polisi-polisi menoleh, bagian kemanan menoleh kepada mereka berdua. Toni dan
Azis diam tidak bergerak, seperti patung Mayure. Lalu Azis memonyongkan
bibirnya kepada telinga Toni. Berbisik.
“udah nonton film Avenger?”
Llll
“bagaimanapun, ini adalah kasus pembunuhan kedua
setelah Edwin, yang tepat bertepatan di pondok ini, masalahnya, kita masih
tidaklah tahu siapa pelakunya, karena saking banyaknya santri, kita sulit
mengidintifikasi, tetapi pertanyaannya kembali berujung kepada sebuah
pertanyaan; benarkah santri pembunuhnya?”
“Azis, daripada kamu bertanya, aku yang bertanya
balik, kemana kamu tadi, kenapa tidak disamping Yazid”
Febry bertanya, tepatnya, membalik pertanyaan. Membuat
suasana kelas tanpa kursi hening begitu saja, sementara lantai keramik menggoda
mereka untuk berguling-guling dan tidur lelap. Azis, mendelik dan mendesah,
lalu menjawab.
“aku kan, pergi mencari jawaban”
“jawaban apa? Seharusnya kamu tahu kan? Kamu akan kena
damprat bagian keamanan kalau kamu kesana?”tanya Adiya kalem.
“ooo jelas aku tahu hal itu, tapi aku bawa ini”
“itu minyak kayu putih milkku!”
“oh maaf, jatuh sih”
“terima kasih ya”
“sama-sama,” mereka tersenyum tersipu selama beberapa
detik. Sampai Azis ahirnya merubah nada bicaranya “oke guys, kita balik ke soal
utama, pembunuhan ini, membuatku bingung sekali, pertama bagaimana pembunuhnya
tahu kalau Johan ada didalam kamar mandi? Apa dia berjaga disana? Membuntuti?
Lalu pertanyaan datang lebih awal, bagaimana ia bisa masuk kedalam pondok
sementara penjagaan ada dimana-mana?”
“bagaimana kalau pelakunya adalah bolis malam”kata
Febry
“bisa jadi, tapi apa bolis malam? Karena dari Andhika,
aku dapat kabar kalau tadi malam ada yang mencurigakan di sungai, seperti ada
yang memantau, bergerak, memang bisa jadi itu perasaan mereka, tapi setelah di
cek, tidak ada apa-apa, mungkin pembunuhnya bergerak saat itu”debat Arief
“eh gini ya”kata Umar”si Johan pasti dibunuh
malam-malam, karena tadi malam hujan turun dengan deras, terus langkah Johan
sekiranya menuju Sholahudin adalah 5 menit, tapi karena sakit perut tentu
menjadi tiga menit tiga puluh detik, dikurangi lumpur saat jalan dua belas
detik. Jadi Johan sampai disana pada tiga menit 18 detik. Jika pembunuhnya mau
mengejar Johan, maka ia akan mengatur jarak tujuh langkah kaki dari Johan. Itu
guna agar Johan tidak curiga, apalagi saat itu malam dan hujan turun deras,
jadi suara kaki pembunuh akan teredam begitu saja. Di hamam, Johan akan menemukan
60 kamar mandi, ada kamar mandi berjumlah 20 disamping kiri, hamam pertama 20
buah disamping kanan, dan hamam 20 buah juga Dibelakang hamam yang pertama.
tapi ia memilih kamar mandi yang dibelakang dari yang pertama, mengapa? Karena
hanya disanalah ada lampu yang masih menyala, juga apalagi hamam barisan kedua
bersih dari kotoran. Didalam hamam sudah jelas Johan bab. Setelah itu, ia
dibunuh dengan dibacok oleh sesuatu yang dapat membuat luka sebesar ini”Umar
menunjukkan tiga jari bersatu”dan benda itu tidak lain adalah belati atau
pisau, karena lubang didadanya sekitar 15 centimeter”
Mereka semua diam.
“itu keren Mar”puji Azis”perkiraan, ia sampai pada
menit ke berapa?”
“tiga menit delapan belas detik”
“oke, bagaimana kalau pelakunya bukan orang yang
membuntuti, bagaimana kalau pelakunya adalah orang yang tidak pernah kita
sangka-sangka, bagaimana kalau pelakunya adalah bagian keamanan”
“apa?! Keamanan, bagaimana bisa?”
“oh! Tentu bisa! Andar dan komplotannya adalah anak
dengan track record sebagai santri yang paling sering melanggar, bisa kita
bilang, lawan dari GPS yang baik hati dan juga suka menolong sesama, dan karena
hal itu, tentu bagian keamanan terseret masuk kedalam riayah, membuat ia marah,
lalu membunuh”
“nggak masuk akal”tukas Anzuru cepat. Seperti tupai.
“sebenarnya bisa sih”dorong Yazid”lagipula keamanan
adalah penguasa di pondok, bisa mengontrol kapan saja, dan bagaimana ia yang
membunuh Johan masuk akal juga, karena ia bebas berkeliaran dan Johan tidak
punya kesempatan apa-apa saat bertemu keamanan”
“bagaimana kalau pembunuhnya polisi?”
“tidak mungkin Zis, dia menjaga tapi dia memmbnuh,
sama saja dengan bunuh diri”kata Adiya
“kalau begitu, bagaimana kalau mereka bersengkongkol?
Seharusnya malam itu polisi berjaga dengan ketat dan dimana-mana, bagaimana
bisa nyawa orang hilang?”
“mungkin mereka tidak focus gara-gara kedinginan
Zis”Febry husnudzan.
“hmm..bisa, bagaimana kalau pelakunya ustad Rohman?”
“kamu ini, yang nggak mungkinlah1’Anzuru negak.
“mungkin aja, Andar dan Johan sekelas, dan ustad
Rohman adalah…”
“wali kelasnya”kata Adiya”tapi sepertinya nggak
mungkin, ustad Rohman kan baik”
“ya, tapi dalam dunia detektif, dalam dunia seperti
ini, curigai apa yang sulit untuk dicurigai, karena mereka biasanya cerdik
menyembunyikan wajah watados mereka, sama seperti para koruptor itu. bahkan
para iluminati kan adalah apa yang tidak pernah kita sangka-sangka”
“kamu ghibah gurumu, kamu celaka! Azis, tidak mungkin
hal itu terjadi. Kamu teralu kebanyakan baca novel dan nonton film detektif
sih, makanya begitu, tenang. Apalagi yang kamu curigai?”
“pimpinan pondok”
Sepi, mereka hanya menghela napas.
“kenapa?”
“daripada kamu tanya itu, lebih baik kasih tahu apa
yang kamu temukan disana, apa kamu lihat bagaimana caranya dibunuh? Bagaimana
ia bisa terbunuh?”
“tidak juga, tapi selain darah yang bercampur selokan,
selain Johan yang bersandar di tembok, selain itu, ada informasi baru, kalian
tahu? ada tulisan AN ditembok, hanya tulisan itu yang menarik perhatianku”
“Andar!”
“aku juga berpikir seperti itu, tapi…banyak yang
bernama AN didalam dunia ini, kalau melingkup nama-nama di pondok, Toni juga
Anthony, Andar, bolis tadi malam ada lebih dari lima yang berawalan AN. Apakah
AN pembunuhnya, atau yang bernama AN yang akan dibunuh?”
Mereka diam untuk sejenak, sementara diluar angin berdesir-desir menampar dedaunan
kuning. Membuat debu beterbaran memeluk dinding-dinding putih, mengotorinya.
Namun kemudian Arief menatap Azis dengan pandangan serius.
“selain fakta ini, fakta apalagi yang kamu temukan?”
“dia belum basuh tahinya”

Posting Komentar untuk "Santri Killer Part IX : Zaalika Na’lun Ya Al’akh"