Santri Killer Part VI : Flashdisk
Flashdisk
Semua bisa
mati kapan saja, dimana saja, asalkan ada kemauan, semua orang bisa menjadi
pembunuh. Menjadi pembunuh adalah hal yang mudah, apakah kita memiliki
keberanian untuk melakukannya? Sanggupkah kita membuang empati untuk
melakukannya? Sanggupkah kita mematikan hati kita sendiri? Adalah soal untuk
menjadi pembunuh yang harus kita ketahui.
Aku tak bisa
memungkiri kalau pembunuh itu mungkin ada diantara kita atau ada diluar sana,
aku tak memiliki data yang valid, yang kami dapatkan hanyalah
informasi-informasi dari cerita yang beredar. Siapa pemunuhnya? Tony? Andar?
Sandy? Tak satupun kami tahu. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda.
Namun aku
yakin, bukan mereka pembunuhnya. Edwin tak akan mati dengan wajah mengenaskan
jika mereka pembunuhnya, seharusnya pembunuhnya adalah orang yang tidak
tertebak. Namun siapa? Dan bukankah teman adalah pembunuh yang paling baik? Aku
tahu, pembunuhnya adalah orang yang tidak kita curigai sama sekali. Namun di
pondok ini, semua tidak bisa kita curigai. Karna kita santri. Apakah santri
adalah seorang pembunuh?
Kalo itu,
hanya tuhanlah yang tahu
Llll
Dua minggu berlalu tanpa kemajuan yang pasti, Mada tak
menemukan apapun dan polisi telah ditarik mundur pada hari ke 12 guna bertugas
di tempat lain. Pembunuhnya bukan santri. Setidaknya, itu adalah kabar bahagia
bagi pondok ini karna media tak lagi menyambangi dan bertanya seperti burung
kakaktua.
Kematian juga sudah tak lagi dibicarakan, tak
diingat-ingat, dilupakan seperti Koran usang yang berdebu. Cerita itu berlalu
begitu saja, awalnya memang banyak santri yang izin pulang, namun setelah
menjelang dua minggu ini. Tak ada lagi yang berani izin pulang karna riayah
tidak mengizinkan.
Awalnya, kemanan pondok dipertanyakan juga diragukan.
Namun semua orang kembali mengerti bahwa Pentas Seni adalah tempat manusia
layaknya semut . Pedagang liar, penonton, wali santri. Semua berkumpul di
pondok kala malam itu. Dan sayangnya, disanalah tempat keamanan pondok lemah
karna seluruh santri mengambil tempat pada acara itu sendiri. Pada waktu itu,
manusia bisa menjadp apapun yang mereka mau.
Maka disitulah Mada, di sebuah Musholla pada sore
kamis yang mulai menjelang petang. Disaat spektrum warna mulai berubah dan
katanya waktu ini adalah waktu yang paling berbahaya sampai al-qur’an
memperingati dalam satu ayatnya.
Lelaki itu mendelik pada segerombolan anak yang duduk
membuat lingkaran di teras mushholla, baju mereka putih, jajan dan makanan
terletak dihadapan mereka. Tentu mereka adalah anak-anak yang puasa pada hari
dan kamis. Itu adalah hal yang biasa di pondok pesantren. Namun yang tidak
biasa Mada dengar adalah percakapan di Musholla itu sendiri.
“semua harus diperhitungkan, jika teori-teori ini tak
sesuai dengan fakta yang ada, kita singkirkan teorinya, kita ambil faktanya.
Dan faktanya adalah…pelakunya masih belum ditemukan”
“ya, jika pembunuhnya adalah santri, maka santri itu
adalah orang yang sabar, dua minggu menunggu waktu hanya untuk memulangkan
polisi-polisi itu. Lalu bisa jadi pembunuh itu berkeliaran lagi”
“atau bagaimana jika pembunuhnya bukan santri?”
“nah, itu bagus, berarti kita nggak perlu cari, ya
kan?”
“tapi kalo kita nggak cari, dimana serunya?”
“Seharusnya kamu bersyukur nggak ada pembunuhnya di
pondok, zis, kamu ini bagaimana sih?”
“ya, aku tahu, tapi masalahnya, pembunuhnya bisa siapa
aja kan?”
“bisa kalian diam? Kita tunggu azan saja!”
“nggak seru Feb! ini keren kan? Kita jadi detektif?”
Mada tersenyum sementara percakapan terus berlanjut,
ia berdiri, berjalan menuju mereka dan berdehem sehingga membuat segerombolan
anak itu diam sebentar. Lalu membuka lingkaran mereka lebih lebar. Mada
tersenyum, melihat ada buku mini ditengah sana berisikan informasi yang sangat
tidak valid.
“boleh bapak duduk?...terima kasih, bisa lihat buku
mini itu?”Mada membaca sekilas sementara anak-anak masih diam seperti
batu”kalian tak akan bisa menemukan siapa pelakunya, tak mungkin, dengan data
seperti itu… mustahil”
Wajah anak-anak itu menegang dan nampak putus harapan,
namun Mada akhirnya melanjutkan dengan perkataan yang membuat wajah mereka
terangkat.
“aku bisa memberikan data yang lebih valid, tapi aku
ingin bertanya, apa gagak dalam pendapat kalian?”
Diam untuk sementara waktu”Binatang yang bisa
terbang?”
“hewan yang pertama kali diciptakan?”
“Uchiha Itachi?”
“Habil dan Qabil?”
Diam lagi namun Mada mengangkat alis karena
mendapatkan sesuatu yang terasa penting. “Habil dan Qabil?” Tanyanya dan mereka
menatap Arief Pangestu yang menjawab.
“mmmm…pembunuhan pak”kata Arief karna hanya itu yang
dia ketahui
“Habil dan Qabil, Labuda dan Iqlima”dengung
Mada”bukankah itu cerita dimana anak nabi Adam melakukan persembahan kepada
tuhan?”
“benar pak, ini
bermula dimana Qabil tak terima disandingkan dengan saudaranya yang jelek
sementara Habil mendapat yang lebih cantik. Akhirnya, dibuat semacam kompetisi
persembahan. Qabil mempersembahkan kambing yang gemuk sementara Qabil
mempersembahkan panen miliknya yang buruk, akhirnya, persembahan Habil diterima
oleh tuhan”terang Adiya
“lalu Qabil membunuh Habil dengan batu”kata Mada. Qabil bingung tak tahu harus melakukan apa, lalu gagak turun dari
indahnya langit, mereka bertempur, salah satu gagak mati. Dan gagak yang hidup
mengeruk tanah dan menguburnya. Apa kaitannya dengan kasus ini?
“apa yang terjadi setelah Habil dikubur?”
“Qabil lari pak, hilang”
“berarti..”
Suara azan menggema diujung langit, menghalau ucapan
itu untuk keluar. Qabil, ia masih hidup, ia lari, lalu tak ada cerita lagi
tentang hal itu karena setelah Habil dibunuh, Qabil menyesal dan tak pernah
kembali lagi. Lalu apa kaitannya dengan pembunuhan ini? Siapa Qabil, siapa
Habil dalam pembunuhan ini? Khanza, Fitri, mereka berdua adalah dua insan yang
telah mati. Qabil-nya, adalah Andar. Namun bagaimana kalau ada pilihan yang
lainnya lagi? Bagaimana cara ia membunuh?
Bagaimana kalau Anthony? Bila ia—siapapun itu—membunuh
karena dendam, apa mereka tega ketika melakukannya? Mereka hanya anak-anak,
kecuali, tentu, ada dari mereka yang memiliki dua kepribadian. Namun dari data
semua santri, mereka tidak memiliki kelainan sama sekali, tidak ada syndrome,
namun pertanyaan terbesar; siapa pembunuhnya?
Andar dan Anthony terbukti tidak bersalah, walau
mereka yang paling dekat dengan kasus perkemahan itu. Andar jujr saat ditanya,
ada diatas dapur dan melihat gumpalan awan, Anthony juga jujur, ada didalam
kamar beerta kawan-kawan yang lain. apa ini hanya sebuah kebetulan? Mada telah
melakukan tindakan guna menyuruh kepolisian memantau dan menjaga seluruh nama
yang ikut didalam perkemahan itu, menyamar menjadi orang dekat. Namun tidak ada
pergerakan sama sekali yang terlihat, seolah ia membunuh secara acak.
seperti seorang psikopat.
“kalian mencurigai Andar, ya
kan?”
Mereka mengangguk sembari
melanjutkan makan secara perlahan-lahan. Kini mereka menatap Mada seperti
menunggu perkataan selanjutnya, namun Mada hanya diam, tak bersuara selain
otaknya yang bekerja.
“makan dulu pak”Arief
mempersilahkan
“tidak, terima kasih, saya
pamit dahulu”katanya beranjak pergi, meninggalkan anak GPS yang masih memakan
cemilan pembuka puasa. Lalu Adiya menoleh kepada Azis.
“Azis, kamu mendapat sesuatu?”
“beliau pasti bingung,
lagipula, dua tersangka utama terbukti tidak bersalah, tapi bukan berarti bukan
diantara mereka pelakunya. Anthony pernah cerita padaku kalau di rumah pohon
itu mereka berkumpul, dimalam Aratul Fitriani menghilang”
“lalu kenapa?”
“mereka semua murung dan putus
asa, badai malam itu menjadi melodi mereka, lalu desauan angin menjadi saksi
kalau ada yang mati. Sementara fajar belum merekah dan—“
“Azis, jangan pakai
sastramu!”amuk Anzuru
“oh, tadi aku pakai sastra ya?
Kalau begitu, ceritanya pada malam itu hujan turun dengan derasnya dan mereka
telah kehilangan satu orang. Badai berlalu dan paginya mereka segera pulang dan
meminta bantuan, mereka melapor. Toni yang melapor kalau seseorang terjatuh ke
jurang. Walau Andar dan beberapa menghentikannya karena takut, tapi si Toni
bersikeras. Akhirnya, si Fitri tidak
ditemukan. Dan esoknya, beredar kabar kalau Khanza pergi dari pagi hari, lalu
tidak pernah kembali lagi, sampai saat ini”
“jadi Khanza pelakunya?”
“aku tidak tahu soal itu, yang
aku tahu, jika memang Khanza pelakunya, pasti ada alasan untuk dia. Tapi apa?
Memabalas dendam? Membalas dendam untuk apa?”
“Arah adalah pacarnya”
“uhuk!”Azis tersedak keripik
yang sedang ia makan”pacaran? Apa maksudmu dengan pacaran? Saat itu ia sedang
sekolah Dasar. Itu terlalu naïf jika katakan mereka pacaran”
“nggak, bisa jadi itu
karena…cinta”Arief mulai menggoda Azis
“bisa kita bicarakan yang
lain? bagiku itu adalah hal yang tidak mungkin, terlalu…aneh, bagaimana kalau
adik kakak. Bukankah hal itu lebih logis?”
“Arah memiliki hubungan
keluarga? Sepertinya itu bisa menjadi petunjuk”Adiya berpikir sebentar”tapi
bagaimana mencarimya?”
“bagaimana kalau kita googling
dan tulis silsilah keluarga Arah di
internet, kayaknya berhasil”
“jangan harap”tuka Yazid”kamu
pikir google KTP?”
“tidak ada salahnya mencoba”
“bodo amat, terserahmu deh”
“kalau begitu, kita akan
beraksi besok, mumpung ada perizinan ke pasar, jadi, kita kan do googling,
bagaimana Yazid?”
“kayaknya percuma, google
bukan tuhan, dia tidak tahu segalanya”
“kalau begitu, kita buka
facebook”
“lho, kok facebook?”Febry
terkejut
“Aku punya ide, bagaimana
kalau kita stalking status mereka ke tiga tahun lampau, mungkin mereka posting
tentang perkemahan itu, foto-fotoan mungkin, atau mungkin statusnya bilang
gini, ih ada yang mati cuk1 terus ada
emoji takutnya, bagaimana?”
“kamu jadi stalker dong”
“nggak, kita semua”
“kita semua?!”tanya mereka
berbarengan
“ya, kkta akan stalking mereka
bersama-sama. Dengan begitu, masalah aan mudah terselesaikan”
“aku nggak ikut”bilang Umar
“nggak, aku ada wali, jadi aku
nggak bisa”Anzuru mengundurkan diri
“aku juga”Febry
“itu ide gila, aku nggak akan
ikut”Yazid
“Arief, ikut kan?”
Arief mendesah, menatap mata
Azis yang bersianr sinar seperti bintang senja, memancarkan cahaya keindahan
tidak terperikan, membuat ia terpengaruh, membuat ia ingin menari-nari dibawah
bintang, bermandikan cahaya bulan. Melihat keteguhan hati itu, Arief langsung
menhawab lantang.
“tentu saja! Tidak!”
Sepi.
“sudahalah Zis, kita nggak
usah ikut campur urusan ini, kita belajar, bukan memecahkan teka teki”bjuk Umar,
melihat ekspresi temannya begitu suram.
“ayolah, kita stalking mereka,
sekali saja, kita bagi tugas, untuk ini saja, bagaimana?”
“maaf Azis, tidak bisa”
Semangat anak itu memudar,
seperti tulisan terkena butiran hujan. Ia hanya menghela napas, mendelik kepada
keadaan yang tidak memungkinkan. Memang terlalu naïf untuk melakukannya
sendiri, lagipula, ia hanya seorang anak kecil, dan masalah pembunuhan seperti
itu harusnya hanya untuk orang dewasa, untuk para detektif sementara mereka
hanya ank-anak seumuran biji jagung.
“kalau begitu, lebih baik kita
sholat saja”
Hanya itu ucapannya kemudian
sampai Adiya menyipitkan mata kepada sebuah benda disampingnya. Benda itu kecil
bewarna biru, tergeletak diantara jajan-jajan tersebut. Adiya mengambil fashdisk
tersebut.
“pak Mada melupakan
flashdisknya, aku akan kembalikan”
“tunggu”protes Azis
“ada ada Azis?”
“pak Mada tidak mungkin
menjatuhakn benda seperti itu, seorang detektif tidaklah ceroboh, sebenarnya,
aku yakin Pak Mada memberikan informasi itu kepada kita, secara cuma-cuma”
“bagaimana kamu bisa yakin?”
“insting”

Posting Komentar untuk "Santri Killer Part VI : Flashdisk"