Santri Killer Part VI : Rumah Pohon
Rumah Pohon
malam itu badai datang, pak, ya, jika anak itu melapor
ketika temannya baru saja terjatuh, kita juga bisa kesulitan membantunya. Apalagi
mereka melapor sore setelah kejadian itu terjadi. Kami mencarinya sampai ke
hilir. Kami tak menemukan apa-apa selain pohon-pohon yang tumbang yang terbawa
arus. Airnya kotor karna hujan, dan seperti yang saya katakan, kami tak
menemukam apa-apa” Kata Heru Wijayanto sembari meminum kopi yang ada
dihadapannya.
“apa ada kemungkinannya hidup?”
“ada, tapi sangat sedikit, disana hutan pak, dan ada
penghuninya, tak hanya hewan, tapi dari yang tidak kita lihat, apalagi tak
mungkin anak itu bisa berenang, arusnya begitu deras, apapun yang terjadi tiga
tahun lalu, seharusnya anda biarkan terjadi, tak perlu mengungkit-ungkitnya
lagi. Apa ada yang terjadi pak?”
“ya, ada, terjadi pembunuhan kepada salah satu yang
ikut kemah tiga tahun lalu, dan aku ingin tahu motif apa yang ia gunakan, apa
balas dendam? Atau hanya kebetulan, aku ingin data akan hal itu, mengapa semua
itu bisa terjadi”
“saya bisa mengantar anda ke rumah pohon itu, saya
rasa, anda perlu mengeceknya, mungkin anda akan mendapatkan petunjuk”Heru
meminum kopi untuk terakhir kalinya dan menaruhnya pelan.
Tak berapa lama, mobil Mada melintasi beberapa
perumahan sekaligus rambu-rambu lalu lintas. Beberapa jam kemudian mobil itu
memasuki hutan dan Heru meminta turun tak jauh dari sebuah pohon melinjo.
Mereka turun dan berjalan sekitar 700 meter dan akhirnya berhenti sembari
mendongak kearah rumah pohon itu.
“itu pak, rumah pohonnya"
Rumah pohon itu sudah jelas tak sekuat dulu, lumut
tumbuh semena-mena seolah kini mereka adalah raja yang berkuasa. Kayunya sudah
lapuk dan tua, Mada mencoba memanjatnya pelan melalui tangga buatan dari kayu
yang dipaku pada pohon itu secara horizontal, ia melihat dan terkagum karna
mereka membuatnya dengan cara yang sangat strategis. Rumah pohon itu tak hanya
lebar namun juga luas. Setidaknya bisa menampung sampai 17 anak-anak SD. Mada
mencoba untuk memasuki kawasan itu dengan hati-hati. Tanpa sengaja, ia
menyentuh sebuah palang yang memang tua dan palang itu jatuh setelah
berkali-kali memantul dari satu dahan kedahan yang lain. Lalu palang itu jatuh
ketanah dengan suara kayu terbelah.
“hati-hati pak!”teriak Heru Wijayanto dari bawah, Mada
bergerak hati hati karna mungkin agak beresiko bagi orang seperti dirinya
berada dalam rumah pohon ini. Setelah perlahan-lahan bergerak sembari memperhatikan
jalan, ia melihat batang kayu sebagai titik tengahnya bertuliskan pemilik rumah
pohon ini, disana tertulis Andar, Tony, Geo, Dennis, Edwin, Arah, Juan, Sandy,
Ryan, Tian, Reza, dan Khanza. Mereka adalah pembuat rumah pohon ini. Dan kini,
tiga diantara mereka telah meninggal. Atau satu diantara mereka telah
dinyatakan meninggal, dua hilang. Semua beranggapan jika Khanza dan Arah telah
meninggal, namun Edwin tak begitu, dia percaya jika Khanza masih hidup,
berkeliaran didunia ini. Namun bila itu terjadi, kenapa Khanza tak kembali
kerumahnya? Itu kan menjadi soal yang lain.
Mada turun dan segera Heru mengajak Mada menuju tebing
tempat Andar mengatakan Aratul Fitriani terjatuh. Mada melihat jelas jika
siapapun jatuh dari tebing ini pasti akan mati, tapi ada sungai dibawah sana
yang bisa menyebabkan orang hidup, tergantung bagaimana cara ia jatuh dan siap
atau tidaknya ia berenang melawan arus. Mustahil bila Khanza, terlebih Arah,
hidup jika jatuh disaat airnya bersatu dengan air hujan dan menciptakan air bah
yang begitu besar, mustahil.
“ayo kita balik”kata Mada, ia meludah kearah sungai
itu. Ludahnya hilang kebawa arus.
Lllll
Tak ada yang
dilakukan Tian selain bermain gadget dirumahnya, dia bersandar pada bantal dan
menekan keyboard hapenya, mengirim pesan kepada Ryan yang juga sebagai kawan
sepermain. Gamers, julukan bagi mereka berdua karna bisa memenangkan permainan
online tanpa kalah, kemampuan mereka diacungi jempol, sangat hebat.
“mabar yuk!” Tian mengirim pesan, tak lama kemudain
terdengar suara ‘ping’ pelan yang membuat ia tersenyum.
“ayuk! Siapa takut? ”
“apa? CoC? CoR? Mobile legend?”
“hmm, nanti dah, eh, kamu bisa nggak datang kerumah
pohon?”
“ngapain?”
“aku lagi disini nih, lihat masa lalu, pohon kita dah
lumutan”
“yang lain bisa marah lho, kamu tahu kan yang terjadi
tiga tahun lalu?”
“aku tahu, aku yang ngalamin kok?”
“hah?! Kamu yang ngalamin?”
“sorry, cepetan kesini maeh, disini kita mabar”
“ya udah, aku panggil Geo juga ya!”
“nggak usah! Kita berdua pokoknya, jangan panggil si
anak manja itu, kutunggu dibawah pohon, cepetan!”
Offline
Tian mendesah, segera dia mengambil jaketnya dan
memakainya, kunci motor telah ada ditangann dia segera beranjak pergi ke
garasi, mengeluarkan motor lalu motornya menderu diatas aspal.
Rumah pohon. Pikirnya, sudah lama ia tak kesana,
perjanjian mereka memang begitu. Tak ada yang boleh kembali kerumah pohon karna
rumah pohon itu dinyatakan berhantu oleh mereka. Banyak kenangan yang terjadi
disana, semua kenangan itu sebenarnya indah, sayangnya, pada akhirnya kenangan
itu tercorreng gara-gara ketidaksengajaan. Begitulah yang ditahu Tian.
Motornya menderu memasuki hutan, suaranya membuat
suasana yang sepi agak ribut. Burung-burung sampai panik karenanya, motornya
diparkir pelan, dilihatnya rumah pohon itu dikejauhan lalu berjalan ia
kearahnya.
Sulur-sulur keluar dari jendela yang mereka buat,
pohon itu seolah angker sekarang, catnya ada yang beberapa terkelupas, beberapa
bagian dimakan rayap, namun kenangan itu tetap utuh. Ya, dia mengingatnya,
ketika hujan datang, gerimis menjelma hujan dan kejadian itu terjadi begitu
saja, semua panik, semua harus tutup mulut karna ketidakberanian, karna mereka
pengecut. Tian tak mau berbohong akan hal itu, yang jelas, dia menyesal telah
ada saat itu dan terseret masalah yang sama, Andar, ini seharusnya menjadi
masalahnya, dan ia seharusnya tak ikut campur kepada masalahnya Andar, namun
sudah terjadi, dan Tian tak bisa mengelak.
Sepi. Tak ada orang ditempat ini, Tian merasa bulu
romanya berdiri, seolah dia dipanggil ketempat ini untuk mengenang masa lalu
miliknya yang telah kelabu, tiga tahun lalu, tak jauh dari tempat ini ada
tempat dimana semua itu terjadi, dimana hanya noda hitam yang tertoreh dalam
sejarah kehidupannya. Tiga tahun lalu. Tepat ditempat ini segalanya dimulai.
Online
“maaf, baru on sekarang”
“Bajingan! Kenapa kamu ajak aku ketempat ini?”
“yoh?! Emang kamu dimana?”
“Rumah Pohon, goblok!”
“AKU NGGAK PERNAH SURUH KAMU KESANA! FACEBOOKKU DI
HACK! HP-KU ADA DI PACARKU!”
“bajingan! Terus siapa yang suruh aku kesini!”
Sebuah kayu menghantam tengkuknya dan ia terjatuh
ketanah dengan suara berdebum. Handphone-nya terlepas dari tangannya, Tian
merasakan rasa sakit yang begitu nyeri di tengkuknya, pandangannya memburam,
dia menggunakan sisa tenaganya yang terakhir untuk bergerak cepat sembari
meraih handphone yang tak jauh didepannya, dia berbalik hadap dan setengah mati
dia terkejut.
“kamu?!”
Kayu melesat menghantam pipinya dan lagi-lagi ia
tersungkur, pandangannya berkunang-kunang, tubuhnya menggigil tak bisa bergerak
antara takut dan terkejut. Namun, ia harus menulis pesan kepada Ryan agar ia
tak terpancing ke tempat yang sama, kelubang yang sama. Jangan kesini. Bagus, dia menulis dengan cepat, baru dia ingin
mengirim pesan itu, sebuah hantaman menerbangkan hape miliknya sampai terguling
di tanah. Hantaman berikutnya telak mengenai wajahnya dan ia terjatuh dengan
punggung lebih dahulu menyentuh tanah, hidungnya patah, darah mengucur dari
sana. pandangannya lurus kearah langit, buram, dia seharusnya tidak disini! Ucapnya dalam hati. Lalu buram
berganti gelap, dan pandangannya menutup.
berjalan menuju Handphone, dipungutnya, lalu dengan
wajah tanpa dosa, dia menghapus pesan yang tak sempat terkirim itu.
menggantinya dengan elegan.
“bisa kamu datang kesini?”
“kamu kenapa? Tadi kamu bilang bajingan, sekarang kamu
suruh aku datang kesana, kamu gila ya? Denger! Facebookku di hack! Bukan aku
yang nulis gituan”
“ya, aku maafin! Cepetan kesini!”
“aku mau ambil HP di pacarku dulu! Mumpung dia lagi
liburan sekarang!”
“masa pacar yang kamu pentingin daripada aku?”
“ya sudah, aku jemput, kamu dimana?”
“dibawah rumah pohon, cepetan, penting nie!”
“oke, OTW”
Sekali tepuk, dua nyamuk masuk perangkap.
Posting Komentar untuk "Santri Killer Part VI : Rumah Pohon"