Santri Killer Part VII: Ana Atin
Ana Atin
“kenapa keluarga Tian ada
disini?”Andar melihat kearah kakanya Tian, Atin, yang sedang berbincang dengan
Anthony, ia mendekat dan Atin segera melihat Andar mendekat.
“Andar!”
“kak Atin, mengapa kak Atin
disini, Tian kan gak mondok”
“Tian hilang, dari kemarin
pagi aku mencarinya, sampai sekarang tidak ketemu, Ryan juga hilang,
orangtuanya sedang meminta polisi untuk mencarinya, tadi belum ada kabar juga”
“bagaimana ia bisa hilang?”
“kami belum tahu, ia membawa
ponsel tapi ponselnya tidak bisa dihubungi, aku taku terjadi apa-apa dengan
anak itu, walaupun dia nakal, dia tetap adikku”
“maaf kak, kami tiak tahu,
tetapi dia tidak pernah kesini, dan kami juga tidak tahu tentang Ryan”jawab
Andar sedih
“tidak apa, apa kalian tidak
tah kemana dia sering pergi?”
“tidak, dulu kami sering ke
rumah pohon, tapi sekarang, entahlah”jawab Toni, menatap Andar yang
mengernyitkan wajah.
“aku turut berduka atas tiga
tahun lalu, kalau begitu, aku duluan”kak Atin mengucapkan salam lalu pergi
dengan motornya. Membiarkan Toni dan Andar berduaan.
“Seharusnya kamu tidak perlu
membicarakan tentang rumah pohon, kita sudah berjanji untuk tidak menyinggunya”
“tapi itu kebenaran, bagaimana
kalau Tian dan Ryan pergi kerumah pohon itu, tinggal disana, kemah seperti apa
yang kita lakukan tiga tahun lalau”
“aku merasakan firasat yang
tidak enak akan hal ini, Tian bukanlah anak yang suka petualang, dia lebih
menyukai games playstation daripada menjelajah, begitupula dengan Ryan”
“lalu menurutmu bagaimana?”
“unruk saat ini aku tidak
tahu, tapi,aku rasa, kita sedang diburu”
“lalu apa yang harus kita
lakukan?”
Andar menatap Toni, mendesah.
Lllll
“Aku telah membuka filenya,
dan isinya seperti yang aku duga, file tentang anak-anak itu”
“benarkah?”
“ya, dan hebatnya, ada
fotokopian agendanya Andar didalam fotokopian itu”
“maksudmu?”
“kamu tidak mengert ya Zid,
fotokopian didalam fotokopian, mengerti?”
“tidak”
“kalau begitu, kamu mainin
saja OSU milikmu itu”
Yazid menatap Azis yang sedang
menulis di musholla, ia memandang jam tangan yang telah menunjukkan pukul jam
satu siang, didalam perut telah bersarang lauk ayam yang memang enak rasanya,
lalu perutnya menggeroncong, ia kelaparan lagi.
“Zis, ada uang”
“aku nggak bawa, tapi coba
lihat siapa yang datang”
Rizky Eka.
“nah, ternyata kamu disini
Zis!”Eka langsung duduk disamping kawannya
“Eka! Pinjam uang”
“nih”
Mata Yazid berkilat
mengeluarkan api, sedetik kemudian ia telah hilang dari pandangan mereka berdua.
Rizky melihat kepada tulisan Azis, dan Azis melenguh, menutup-nutupi. Rizky
semakin mendekat hingga pada akhirnya, Azis mendesah dengan helaan napas yang
kuat.
“kamu dapat sesuatu?”
“banyak, walaupun simpulan
kita seperti kemarin saat hari kamis itu,tapi aku tidak memungkiri siapa
pelakunya diantara kita, bagaimana si X membunuh Edwin, pastilah ada bocoran
dari dalam sini, namun ada 980 santri yang harus kita tanyai, dan itu tentu
membuatku jengkel”
“terus?”
“kamu nggak ngerti?
Pertanyaannya adalah, siapa yang membuat bocoran itu, tentang Edwin, apa
hobinya, bagaimana kesehariannya, setidaknya gitu pemikiranku, dan walaupun
pada akhirnya pemikiranku salah, berarti, memang salah”
“aku nggak ngerti, Zid, disini
tempat, jangan duduk disana, oh si Arief datang juga, minta dikit jajannya,
makasih”
“kalian tidak akan
membicarakan perempuan disini kan?”Azis bertanya dengan notasi datar.
“belum, si Anzuru belum
datang”
“kalau begitu, kuharap anak
itu tidak datang”
“kamu terbuka dikit sama
perempuan, nanti kamu gimana saat nikah?”tanya Arief
“dia akan menikahi robot”
Rizky Eka tertawa dengan
Arief”tersu gimana caranya buat anak?”
“dia akan adopsi”
“hhaahhahaha”
“diam kalian! Bisa tidak
sekali saja kita tidak membicarakan hal-hal yang berbau negative? Kalau ingin
jodoh ya mudah aja, kalau pada waktunya pasti datang, ya kan? Tapi masalah ya
sekarang pembunuh ini. bagaimana pola ia berpikir haruslah kita tahu”
“tenanglah Zis, terkadang kan
kita harus santai”Arief menggoda
“kalau kita santai searang,
pembunuhnya akan mengincar siapa yanga akan dibunuh, sama seperti kematian
Edwin, pembunuh itu telah mempersiapkan dengan baik bagaimana cara dan upaya
untu melakukannya, untuk saat ini, jika kita jadi pembunuhnya, apa yang akan
kita lakukan?”
Sepi untuk sejenak, sampai
terdengar suara langkah yang membuat mereka menoleh, itu adalah Anzuru dan
Umar, Umar membawa buku mutholaah untuk dihafakan, semenatara Anzuru, ia
membawa selembar Koran.
“Koran?”tanya Azis
sumringah”tumben membaca Koran, ada berita baru apa?”
“dua orang kawan Andar
menghilang, tanpa kabar”
Llllll
“kepolisian telah menarik
pengawasan dari mereka pak, ini dari atasan, kita tidak bisa membantah”
“aku tahu ini dari atasan,
sekarang siapa yang akan bertanggung jawab dengan hilangnya dua anak itu,
anggap saja pelakunya sekarang memiliki sandera, apa yang akan kita lakukan
jika pelaku ini memiliki sandera? Menuruti keinginannya? Menebus seratus juta
demi tiap kepala?!”
Jasanda diam, sekarang
masalahnya semakin rumit.
Mada memagang kepalanya yang
pening, kopi diatas mejanya telah diserap habis tanpa sisa, ia ingin
mengendalikan marah namn tidak bisa, ingin ia hajar tembok atau kaca namun ia
tahu kalau itu kebodohan. Sekarang bagaimana ia menemukan pelakunya yang belum
nampakkan wujud? Bukti belum tentu jelas, walau dilacak orang yang bersangkut
paut namun hasilnya nihil. Pembunuh seolah tahu bagaimana mengelak dengan baik.
“untuk saat ini, pantau semua
aktivitas anak-anak itu, mereka semua terancam kasus pembunuhan, tapi, jangan
sampai tampak, karena kita akan menjebak”
Llll
Denis kembali ke pondok, dan
ia telah mengetahui tentang kabar akan Edwin, Tian, dan juga Ryan. Walau ia
mencoba menerimanaya namun tidak mudah menghilankan apa yang telah ada bersama
kita, menghilangkan kenangan itu sma saja seperti mengamputasi tangan sendiri.
Hal yang tidak mungkin dilakukan pribadi.
Tubuhnya yang tegap dan berisi
ia langkahkan ke pondok tercintanya, ditatapnya semua dengan pandangan cerah,
bagaimana telah jauh sesuatu yang telah berlalu, telah dekat sesuatu yang akan
datang. dan hari ini adalah sebua kepastian, akankah semua seperti dahulu lagi,
atau semuanya akan berubah? Ia bahkan tidak mengerti.
Seperti biasa jajannya telah
digerogoti oleh kawan-kawan sekamarnya, tendang menendang dan memperebutkan apa
yang telah ada. namun ketika ia memasukkan pakaiannya kedalam lemari, ada
seorang yang berdiri disampingnya.
Sandy.
“kau telah tahu kan, mereka?”
“aku tahu”
“kau tentu menyangkut pautkan
dengan…”
“tidak usah dibicarakan,
faktanya, mereka hilang, mereka masih bisa ditemukan, begitu juga dengan Arah
dan Khanza, tidak ada bukti kalau mereka telah mati. Bagiku, mereka masih
hidup, walau hanya dalam kenangan”
“apa kita selanjutnya?
Pernahkah kamu berpikir begitu?”
Dennis hanya diam, ia tidak
menjawab, tidak mendesah. Hanya suara napasnya yang naik turun seperti
elevator, pelan namun begitu menenangkan sementara pakainnya belum dimasukkan
sepenuhnya, membuat ia menuntaskannya dengan segera.
“mengapa kamu tidak menjawab,
Dennis?”
Denis tetap diam, meamsukkan lebih banyak pakaian lagi
kedalam lemarinya, lalu menutup dengan pelan. Menggebok dan mengunci, lalu
dengan satu tatapan muka, ia menatap Sandy. Tanpa suara tanpa melodi.
“berhenti mengingatkanku dengannya”
Lalu ia beranjak pergi meninggalkan Sandy sendirian.
Sementara Sandy, ia hanya berdiri, mencibir dan menggerutu karena ia tahu kalau
semua temannya sekarang terancam. Dan ia tidak tahu siapa lagi yang harus
dipercaya, setiap orang menyembunyikan diri mereka masing masing, persis seperi
kucing didalam bayangan.
Ditatapnya benda yang didalam genggamannya, belati itu
berkilat walau tak terkena cahaya, entah kapan ia akan kembali menggunakan
benda itu lagi.
Llll
“Ayolah Zis, perasaan tidak seburuk yang kamu
bayangkan. Coba lihat buku mini ini, tulis surat, aku akan kirimkan kepada
perempuan yang menurutmu cocok, kepada santriwati yang kamu mau ”
“Fatimmatu Zahrah”
“ITU ISTRINYA MAMI’ DAHLAN!”
“bagaimana kalau perempuan yang sering dekatnya mami’ Khairi”
“ITU ISTRINYA!”
“kalau begitu, anggap saja tidak ada”
“payah ah, padahal kamu harus tahu kalau perasaan itu
seperti sungai Amazon yang mengalir pelan, seperti pelangi yang indah, seperti
samudera yang luas nan tenang, seperti bidadari diatas syurga“Arief menyenggol
Azis, berharap ia merespon.
“kamu tahu? di sungai Amazon ada piranha, pelangi
hanyalah fatamorgana, indah, namun palsu, samudera memang seperti yang kamu
gambarkan, luas dan tenang, namun kamu tidak tahu kalau samudera telah menelan
jutaan manusia selama kita hidup. Dan bidadari diatas syurga? Bidadari tempatnya
didalam surga, bukan diatas. Jadi tolong diamlah karena aku sedang menulis
beberapa poin penting didalam Koran ini, kehilangan Tian dan Ryan harus segera
dipecahkan kasusnya, karena aku takut kalau ini sama kasusnya seperti Khanza
dan Arah, hilang tidak berbekas. Bagaimana kalau si pembunuh ini menjadikan
mereka sandera? Kan itu bahaya namanya”
“coba jangan urus yang itu dulu, kita urus masa
depanmu”
“ayolah Rif, teman kita dalam bahaya, akan ada lagi
yang mati, dan itu adalah hal yang tidak bisa kita duga, kita harus
mempersiapkan, berpikir apa yang akan terjadi satu dua bulan kedepan, untuk
mencegah lebih banyak kematian”
“apapun yang kamu pikirkan, telah dipikirkan oleh
detektif Mada! Dia lebih ahli daripada kita, dia professional, kita gadungan!”
Perkataan itu menancap keras di sanubari. Itu benar,
siapa kita? Hanya sekumpulan anak yang ingin memecahkan misteri, hanya
sekumpulan anak bodoh yang tidak bisa mngheafal mutholaah, mencari pelaku
pembunuhan. Pada kenyataannya, kita bukanlah siapa-saiapa, hanya sekumpulan
orang bodoh.
ia merapikan buku-bkunya, mendesah, menyembunyikan air
matanya, ia keluar dari musholla, meninggalkan perasaan yang telah dilaluinya.
Mungkin semacam itulah perasaan dan mengapa ia
membencinya, karena sejatinya, perasaan atau cinta itu adalah laksana air
sungai Amazon yang pelan, memberikan kisah baru kepada para pencinta untuk
bercerita kepada alam, berbisik-bisik dengan bangga kepada kupu-kupu merah
jambu yang hinggap di bunga anggrek. Namun perasaan juga seperti sungai itu yang
menyimpan piranha, menggerogoti hati sampai bola matamu agar tak bersisa.
Perasaan bisa jadi seperti pelangi bermacam rupa;
merah kuning hijau di langit yang membiru, dimana awan-awan laksana dewi
menurunkan hujan dan ia tersenyum dengan riangnya, muncul diantara langit
dibawah siraman cahaya matahari. Namun perasaan itu juga seperti pelangi yang
tidak bisa kau sentuh, hanya isa kau pandang, hanya bisa kau rasakan. Cinta itu
seperti pelangi, hanya suatu yang palsu, hanya sebuah fatamorgana.
Atau seperti yang dikatakan Arief tadi, seperti
samudera maha luas yang membentang jauh ke ufuk, dimana para kapal bebas
berlayar untuk mencari pengalaman baru, pulau-pulau baru. Dimana harta karun
tersimpan begitu dalam, menyimpan cerita indah yang tak terperikan. Namun sama
seperti sebelumnya, laut memang indah, nampak tenang diatas wadah, namun apa
daya, setiap laut punya ombaknya, menenggelamkan siapa saja ke dasar samudera,
menghanyutkan apa saja ke tepian seperti sampah tak berguna. Kita melihat
indahnya, namun didalam, laut menyimpan misteri juga.
Seperti bidadari diatas syurga? Ya benar. Cinta itu
seperti bidadari diatas syugra yang dengan tubuh eloknya dapat membuatmu
tergila-gila, menari daiatas hamparan bintang tidak terperikan. Bernyanyi
bersama rembulan tengadahkan cahaya. Berbisik-bisik kepada rona senja yang
menari dikala fajar mulai merekah. Dengan bola matanya yang seindah mutiara
engkau tergoda, dengan tubuh elok dimana ia meliuk-liuk diantara tubuhmu,
memberikan rasa yang tidak engkau bayangkan sebelumnya. Namun pertanyaan
terbesar adalah, pantakah kita mendapatkan bidadari? padahal yang kita lakukan
adalah suatu yang hina, dimana mata hanya memandang hal yang harusnya tidak
dipandang, dimana kita melakukan apa yang harusnya tidak dilakukan. Pantaskah
kita dapatkan, sementara neraka didepan mata membentang, menarik kita kejurang,
menghujamkan belati kedalam mata, membasuh tubuh dengan lava. Pantaskah?
Ternyata didunia ini, cinta dan perasaan hanyalah
sebatas sudut pandang. Betapa mengetahui hal ini selalu membuat hatinya
mengilu.
Posting Komentar untuk "Santri Killer Part VII: Ana Atin"