Santri Killer Part VIII : Dennis Kembali
Dennis Kembali
Walau belajar malam ini terasa sedikit berbeda karena
ada beberapa polisi yang memantau di beberapa sudut, dibantu keamanan yang
wajahnya selalu garang. Tapi itu tidak menyurutkan Andar mendekati Denis yang
sedang membaca buku, duduk disamping lapangan hijau ayng rumputnya merekah
seperti mawar, memberikan aroma khas kepada gerimis yang telah berlalu.
Desau angin dikejauhan menggerakkan batang bambu,
membuat ia bergerak seperti leher jerapah lalu bertabrakan satu sama lainnya,
menimbulkan suara aneh yang terdengar suram. Desau angin menggerakkan dedaunan,
menjatuhkan beberapa buah ketapang tua
yang menghitam, jatuh, berdebum, lalau terlupakan karena semut bahkan tidak
melirik sedikitpun.
Aroma malam yang khas, dan anak itu ada disana, duduk
semabri memabaca buku sedangkan Andar disamipngnya seperti musang mendekati
seekor anak ayam. Dengan satu kali gerakan, ia menggerakkan tangannya ingin
merampas buku namun Dennis yang sigap segera menangkap tangan tersebut.
“jangan main-main, aku kemarin ketinggalan beberapa
pelajaran”
“ayolah, pelajaran hanya formalitas, yang terpenting
kebebasan”
“terserah, yang penting aku hafal mahfuzot ini dulu”
“ya sudah, sebenarnya aku ingin tanya apa saja kerjaan
kamu dirumah”
“aku kan, sakit, jadi aku tidak banyak bergerak,
kecuali hari terakhir ketika aku sembuh, aku pergi memancing ke danau”
“waw, jad dapat banyak dong”
“nggak, aku hanya dapat dua ‘ikan’ ”
“kamu ini, mengapa kata ikan kamu tekankan”
“biar kamu tidak bertanya lagi, mana si Toni, bukannya
tadi ia bersamamau?”
“tadi ia bersama Sandy, jadi entahlah dia dimana
sekarang”
“bagaimana menurutmu tentang kasus Tian itu”
“entahlah, aku tidak tahu, ini selalu membuatku
pusing”
“Tidak usah dipikirkan”
“aku tahu”
Lagi-lagi semilir datang dengan perrlahan, menghembus
raga selaku menyedot kalori tubuh yang tersisa, membuat dingin tak tertahankan.
Diatas tiada bintang karena awan menutupi dengan pekatnya yang tidak terlihat,
lalu kembali, bulir-bulir gerimis turun berlompatan seperti dedaunan ketapang.
Terbawa angin dan menampar-nampar tubuh secara perlahan, menyelimuti
benda-benda yang dipeluknya.
Daun-daun itu menyelimuti rerumputan hijau tua,
memberikan nuansa padang ilalang basah terkena rintik. Lalau seolah senja merekah
di kaki langit, Andar menengadah ke langit, kepada bintang yang tak tampak,
kepada bulan yang tidak terlihat. Rintik-rintik menyentuh wajahnya, mengusap
pori-pori seperti ibunda mengusap kepala anak yang berbuat kesalahan. Gerimis
tidak menderas, namun tidak pula berkurang, ia tetap seperti itu, turun
berlompatan dari mahligai hujan, meanri-nari sembari memberikan romansa
tersendiri bagi yang benar-benar merasaknnya.
Pijar lampu terasa membiaskan gerimis, bagaimana pada
momentum spectrum membuat gerimis itu terlihat, dimana cahaya dan rintik
membuat drama kehidupan antara langit dan bumi, seolah gerimis seperti prahara
dua dunia yang berbeda. Seperti kisah-kisah lama yang tak hilang dimakan waktu.
Detik-detik berdetak lama, hujan nampak mengintip menunggu
titah sang kuasa, dibawah awan pekat yang menjulang dibawah awan, dimana
partikelir air menyatu dan berdiskusi, lalu berlompatan hujan yang awalnya
serua biji kwaci, lamun kelamaan berubah meraksasa seperti biji jagung, lalau
bertambah lebih besar lagi.
“hujan!”Dennis segera menghindar, ditariknya Andar
yang ingin diam, namun Andar menolak, kembali ditariknya oleh Dennis sampai
Andar menuruti erintah kawannya. Dibawah naungan aula, mereka berteduh.
“bukan saatnya nostalgia, hal ini membuatku teringat hal
itu”
“ya, aku juga mengingatnya, mengingat dengan jelas”
Lalu hujan menghantam bumi, suaranya gaduh, seperti
tabuhan gendering yang menenangkan namun disterai badai yang menari dibelakang
pemukul. Menari hujan diatas angin, dipeluk rerumputan dan tetumbuhan, lalau
dikejauhan, suara kodok mulai bernyanyi, suara tua itu mulai menari, kodok tua
yang bernyanyi.
Lllll
“perketat penjagaan, bila ada gerak-gerik
mencurgiakan, sampaikan dengan segera, tiup peluit sekeras-kerasnya, mnegerti?”
“mengerti pak”
Bolis-bolis berjaga disetiap titik rawan pondok,
berjaga-jaga agar tidak ada kejadian buruk yang menimpa pondok mereka lagi.
Rasanya baru kemarin kejadian itu menguak, sunggguh waktu terkadang begitu
cepat berlalu
Andhika dan Adrian berjaga di bagian Rusunawa, mereka
berjalan sembari menatap tajam kearah sungai panjang disamping kelas dekat PMB,
sungai itu panjang sekali, membentang jauh berkilo-kilo ke barat sana seperti
ular anaconda menunggu buruan, menunggu.
Hujan meninggalkan jejak dimana-mana, mengisi tanah
kosong dengan warna kecoklatan, dibawah temaram cahaya tanah itu diinjak,
membuat tanah becek karenanya. Diatas langit, bintang saling potret satu
samlain, awan bergerak membuat suara gemuruh, memberikan nuansa yang berbeda,
memberikan cerita yang tak sama. Dan
gegelar petir menyertai malam, membuat gerimis berloncatan turun.
“kita jaga disini”Andika mengambil kursi, menaruhnya
didepan kelas dan menunggu, cahaya temaram dihadapannya seperti berkisah
tentang dongeng-dongeng lampau yang tak bersuara, tak bernada namun mendekam
didalamwaktu, menunggu untuk keluar lagi dan menjadi legenda.
Sementara itu, Adrian mengumpulkan kertas dan
ranting-rantin yang tidak terkena hujan, menjadikannya satu lalu dengan satu
gertean pada korek api yang ia simpan. Kertas-kertas itu menyala, mengusir
dingin yang kian menyergap.
“kamu merasakan sesuatu?”Adrian mentap jauh ke sudut
sana dimana cahaya tidak mampu menjamah kegelapan. Disana kegelapan tidak
tersentuh, seperti noda matahari yang tidak dibersihkan.
“aku tidak merasakan apa-apa, ada sesuatu?”
“aku rasa tadi ada yang bergerak”
“hanya perasaanmu saja mungkin, atau kamu mengantuk?”
“tidak, aku tidak mengantuk, memang ada yang bergerak”
“Dimana”
“dipojokan sana, di kegelapan”
“kita periksa? Aku bawa senter”
“jangan, kita diam disini, menjebaknya”
Lalu mereka menunggu lama sekali sampai gerimis mulai
bosan turun, seperti terserap kedalam bumi, menyatu zat dengan tumbuhan
sekitar. Lalu serasa tengkuk mulai tersentuh hawa membeku, membelai. menaikan
bulu roma mereka seperti bebulu kucing.
Namun kegelapan tetaplah kegelapan hampa, tidak
menunjukkan siapa-siapa selain keheningan yang semakin menyeruak, sementara
diatas teratai hijau, kodok dengan riang bernyanyi, membacakan puisi kepada
hujan yang telah pergi.
Semakin suram sebuah malam, semakin banyak hewan
menampakkan diri. Awalnya kelelawar yang bergantung dengan malas melebarkan
sayap keluar gua, terbang dibawah temaram cahaya untuk menangkap serangga buta.
Dan jangkrik-jangkrik mulai memaikan melodi alam, menambah suasana suram tiada
tertahankan.
Tiada burung hantu yang menampakkan diri malam itu,
mungkin hanya makhluk bijak yang lebih sering mendengar alam tersebut yang
tidak menampakkan diri, selain itu, hanya sebuah orchestra malam dimana desauan
angin seperti ibu tua merintih-rintih. Dan
dikejauhan, bambu-bambu saling menabrakkan diri dan daun-daun
bergesekan, menciptakan violin keabadian sementara dinginnya waktu kian
menyergap, menangkap momen-momen temaram.
“kita akan periksa”
“firasatku buruk, kamu yakin?”
“kita akan meniup peluit keras-keras, semoga yang lain
dengar”
“baiklah”
Lalu tapak kaki mulai terdengar mendekat, Andhika
menyalakan senter, membelah tabir kegelapan dihadapan mereka yang seperti
monster buaya menganga. Namun mereka tidak menemukan apa-apa, selain gelora air
sungai dikejauhan yang menari bergerak-gerak, membawa air keruh ke tempat yang
jauh, bersama sampah-sampah tidak berguna, bersama dengan desau-desau angin
yang tiada terkira.
Namun tidak ada apa-apa, sementara malam mulai
membisikkan kata mengantuk ke benak, mengalun seperti tawa buku fisika yang
bercerita kepada anak-anak TK. Mengejek mun menghina hampa, menari-nari
memainkan jiwa.
Namun tiada apa-apa, sepertinya.
Lllll
“lampu ayam ini membuatku tidak bisa tertidur,
sialan!”Arief memaki sementara Yazid disampingnya memandang kawan se-GPS nya
yang sedang membuka buku setebal ensiklopedia, anak itu menyipitkan mata.
Walau lampu bewarna kuning itu telah dinyalakan namun
ia tidak tahu temannya bisa sekhusuyuk itu, seolah lampu bukanlah masalah,
seolah lampu temaram hanyalah masalah kecil bagi matanya.
Namun ia tidak bersuara menegur, hanya memperhatikan
dikejauhan seperti bangau, sementara kawannya itu mengembara bersama ilmu
pengetahuan didalamnya, ia mulai mencoba menutup mata, memeluk tidur yang ia
rindukan.
Arief benci dengan aturan baru selepas kematian Edwin,
itu membuat lampu ayam menjengkelkan dinyalakan sepanjang malam, mengangganggu
tidur nyenyak yang ia kenang sejak sebelum Edwin meninggal, ia ingin terlelap,
beberapa menit saja walau tidak bisa. Ia memaksakan diri, namun tetap saja ia
hanya berakhir dengan menyumpahi lampu diatasnya yang tak bergeming, memberikan
cahaya dengan cuma-cuma.
Sementara Azis yang disamping, disampingnya lagi dan
disampingnya lagi telah menutup buku. Lalu membalik hadap kepada lampu,
memandang seperti orang mati, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa,
tatapannya seolah kosong, tapi mungkin, otak mungilnya mengembara kepada
kisah-kisah imajinatf dimana dongeng-dongeng mahabrata mencari kitab suci namun
berakhir dengan dikutuk menjadi batu dengan mode bersujud, lalu dilempar dewa
Zeus ke kapal dimana orang yang digelagak kapal berpelukan dan menjadi cerita
legenda bertahun-tahun, dengan nama Titanic..
Ada gusar diguratan wajahnya, sepertinya, dunia
imajinatif yang ia dirikan diserang oleh pasukan berkuda dari selatan, yang
membawa gada berapi dari neraka, diangkatnya gada itu, dihantam kerajaan
imajinasi sehingga dayang-dayang didalam istana terbirit-birit seperti ayam
minta kawin, lalu raja diatas singasana hanya diam, melihat dihadapannya
kerajaan itu runtuh tak lagi tegak, puing-pungnya jatuh berserak-serak.
Beda lagi dengan orang disamping dan disampingnya
lagi. Namanya Johan Rifa’I, walau ia telah mengembara dalam gelapnya mimpi,
dihantamlah oleh kenyataan dimana perutnya bergejolak seperti api, membakar
keadaan seolah memberikan jalan kepada alam mimpi untuk membuka dan diisi
realita. Perutnya bergejolak seperti ada band rock biadab yang
menghentak-hentak, membuat perutnya mulas namun tetap ia paksakan untuk
berhenti, dan perutnya diam, namun tidak berhenti.
Ini semua gara-gara Andar! Si Andar itu dengan sengaja
memberikannya banyak sekali buah mangga, buah yang sangat ia suka sampai ia
terus makan dan makan, kemudian berakibat fatal dimana mangga itu membusuk
didalam perutnya, tercampur dengan bahan-bahan lainnya, menyatu lalu
berkolobrasi menciptakan zat yang dinamakan tai.
Namun jam telah menunjukkan pukul dua dinihari, dan
hamam bukan dekat jaraknya melainkan dua ratus meter dari asrama. Indonesia
adalah asrama terjauh dari peradaban, jauh dari dapur, jauh dari hamam, jauh
dari pantauan bagian keamanan.
Dulu asrama itu Sholahudin, namun Sholahudin
digantikan kelas. Ada saatnya--dan ia yakin--kalau Sholahudin akan menjadi
asrama lagi, hanya membutuhkan waktu untuk itu. sebenarnya ia ingin be’ol di
sungai, tetapi sementara diluar hujan turun begitu deras, menghujam tanah
dengan keras. Lalu diantara awan yang bergerak seperti siput ada petir yang
seperti meliput. Hal itu tentu saja akan memmbuat tempat tersebut begitu gelap,
juga air bah bisa jadi datang dan ia tidak mau terseret seperti kawannya tiga
tahun lalu. Mengingat hal tersebut selalu membuatnya takut.
Gelegar petir mengaum di singgasana langit, dewa zeus
mungkin marah, pikirnya karena suka sekali tentang mitos-mitos Yunani-Romawi.
Namun perutnya yang menghentak-hentak tidak bisa ia tahan. Dimana semua teman
didalam kamar itu telah bergelut dialam mimpi, disanalah ia berdiri.
Ia melangkah keluar dengan perlahan, mengambil payung
dibelakang pintu, warnanya warna biru sebiru langit disaat cerah. Lalu ia
beranjak dan memegang perutnya yang membuncit. Kala itu malam datang dengan
haribaan dingin yang merajai, menyerap hangat yang ada, meliuk-liuk membuat
santri tertidur lelap, serasa ada yang membelai.
Selepas ia keluar, ada yang membuka mata, bangun dari
tidurnya.
Hujan-hujan berguguran seperti dedaunan, dipeluknya
ranting kering hingga basah, dihantamnya rerumputan hijau, diusapnya
dinding-dinding tak bergeming. ia berjalan menjejaki genangan air, membuat
genangan itu tercirat kesamping, mengotori rumput-rumput liar, namun ia tidak
peduli.
Tampak dikejauhan para piket malam menelikung diri
dengan selimut maupun sarung, dengan setia memantau kejauhan. Namun bagaimana
ia melihat sementara hujan seperti tabir tebal diantara angin? Lagipula angin
ribut seperti mendesau-desau, menyanyikan melodi malam penambah dingin,
meniupkan buhul-buhul orang-orang terlelap.
Ia berjalan, namun dikejauhan, dia juga berjalan.
Dimasukinya kamar mandi yang lain karena beberapa
kamar mandi seperti sengaja ditutup, ia tidak bisa masuk kedalamnya, selain
sulit, juga gelap karena cahaya lampu itu telah mati jua. Maka ketika ada
sebuah hamam dengan pintu terbuka dan lampu diatasnya menyala terang, dengan
sukacita dimasukinya.
Kini ia berjongkok ria, duduk seperti itu selalu
membuat ia nyaman, apalagi sampai ia harus mengeluarkan isi perutnya yang
seolah ingin meledak. Sedari tadi, perut dan isinya itu seperti menyambut hari
raya, kuat sekali tabuhan beduknya. Sampai-sampai terasa ada yang keluar dari
lubang duburnya.
Lalu pintu hamam diketuk tiga kali.
“wait a minute please”
Pintu hamam diketuk lagi. Tiga ketukan.
“intanzir qalilan”
Pintu hamam diketuk lagi, lebih keras.
“iya tunggu! Nggak bisa pakai bahasa ya!”
Diketuk tiga kali, semakin keras.
“Basong! Asu!”
Johan berdiri ingin mengintip siapa manusia biadab
yang tidak tahu bagaimana rasa orang Bab. Dibukanya pelintir, direnggutnya
pintu, ditarik dan dengan cara yang kasar, ia membuka pintu, menatap tajam
kepada orang dihadapannya.
Namun detik itulah ia kehilangan segalanya, dimana
dengan gerakan kilat sebuah dorongan kasar menghantam pintu, membuat ia
terjengkal kebelakang, sementara belum ia siap, sebuah belati melesat menghujam
dada, seperti kilat cepatnya, menembus lapisan epidermis, membuat ia sesak.
Ia terjerembab dengan punggung bersandar tembok,
sementara darah membasahi kemeja, mengalir kebawah dan bercampur dengan air.
Orang itu mencabut belati, lalu ia mundur perlahan-lahan. Didalam napas-napas
terakhirnya, ia melihat kepadanya dengan pandangan tidak menyangka, sementara
pintu ia tutup perlahan. Sebelum ia meninggal, sebelum malaikat kematian
merengkuh jiwanya. Ia mengukir nama di tembok dengan darah, namun belum ia
selesai menulis, nyawanya menyerah kepada Izrail pada huruf kedua.
Sementara dikejauhan bisik-bisik hujan mulai meninggi,
bercampur badai disertai angin, membuat bambu-bambu bergesekan disaat kodok
diatas teratai menyanyikan kisah lama, seperti tembang-tembang untuk kakek tua.
Diantara gerimis hujan yang membasahi pertanahan,
orang itu kembali membawa payungnya, berjalan santai dengan wajah penuh beban.
Dipijakinya lumpur-lumpur, memencratkan air kotor itu ketempat lain.
Malam itu awan menutup bintang-bintang, karena mereka
memang tidak perlu tahu.
Posting Komentar untuk "Santri Killer Part VIII : Dennis Kembali"