Santri Killer Part X : Cadar Hitam
Cadar Hitam
“saya tidak tahu pak, setelah saya pindah, saya tidak
tahu lagi kabar Edwin, kami berjanji bertemu tapi tidak bisa, saya perempuan,
tidak bisa keluar semena-mena”perempuan bercadar itu menatapnya tulus. Ada
embun dimatanya yang seolah ingin menjatuhkan diri tapi ditahan. Cadar hitam
itu juga seolah menandakan bahwa ia perempuan yang kuat, tidak akan ia tangisi
apa yang telah berlalu.
Suryani adalah anak seumuran Edwin, bahkan lebih tua
satu tahun. Ditangannya yang disarungkan stocking hitam digenggam buku
sementara tangan manisnya yang lain menopang tubuhnya.
“mengapa dulu kamu ingin memata matai Edwin sampai
ingin memberikan hadiah kepada mata matamu itu?”
“ah, bapak membuat saya mengenang kembali masa lalu
saya yang bodoh, saya tidak tahu harus jawab apa, tetapi, saya mungkin punya
jawaban yang pas untuk bapak. Pak, cinta selalu membuat kita bodoh, kalau tidak
bodoh, bukan cinta namanya”
Mada hanya bisa tersenyum mendengarnya, dan Suryani
mungkin tersenyum juga.
lllll
Faktanya, semua orang bisa menjadi pembunuh, semuanya.
tapi tuhan menciptakan hati agar menahan mereka untuk meakukan hal tersebut.
Dan jika hati dimatikan, semua orang akan menjadi pembunuh, karena tidak akan
ada rasa empati, dan ketika rasa empati telah hulang dari lubuk, maka dunia
hanyalah sebuah tempat yang menunggu untuk dihancurkan tuhan.
Mada menekuk kepalanya, telah banyak asap menguar
keudara dan memudar, bersatu dengan awan. Ampas kopi juga menanti untuk
dibersihkan disampingnya, namun ia tidak peduli, ia lebih peduli dengan kasus
yang belum benar asal-usul semuanya. mengapa pembunuh ini membunuh, siapa yang
membunuh, mengapa kasus ini seperti cerita yang berlika liku bagi detektif
sepertinya? padahal, dia telah menaklukan banyak sekali kasus-kasus yang sulit
terpecahakan. Namun mengapa kali ini seperti mencari jarum didalam jerami?
Informasi-informasi yang ia dapat berlesatan seperti
ikan teri didalam luasnya samudera, banyak namun tidak terlalu berguna, ia
mencari bagaimana pelakunya bisa ada di dua tempat, membunuh secara strategis.
Jika pembunuhnya adalah santri, mengapa bisa dua orang hilang diluar sana
sementara santri masih didalam pondok? Dan jika pelakunya adalah orang luar,
mengapa ia tahu tentang pondok pesantren itu sendiri? Bagaimana ia membunuh
begitu terperinci sampai sedikit—bahkan tidak ada—petunjuk sama sekali?
Dibukanya agenda, betapa agenda ini mendekatkan dia
kepada pelaku yang masih tabu. Tapi hanya sebatas agenda. Walau pada agenda
tertulis ada yang memata-matainya
Mada mematikan rokok yang tinggal filternya, menghujam
puntungnya dalam asbak sampai apinya tidak bersisa. Lalu ia mengambil
Koran-koran, menaruhnya kesebelah kiri,
didengarnya ingatan dari orang-orang yang ia wawancarai.
Awalnya,
kami berencana pergi ke pantai, tapi Andar berkata kalau lebih baik kita kemah
di tengah hutan selama tiga hari. Maka kami menyetujuinya, kami mengandalkan
rumah pohon yang dulu kami buat
“rumah
pohon?”
Ya, rumah pohon itu adalah rumah pohon yang bisa
menampung lebih dari lima belas orang. Kami membuatnya selama satu bulan,
mengikatnya disana dari dahan satu kedahan lainnya. Memperluasnya, memotong
dahan-dahan yang diperlukan. Rumah pohon itu kuat, sulit untuk merobohkannya.
“lalu apa
yang terjadi saat kemah?”
Tidak
terjadi apa-apa, dihari pertama baik-baik saja sampai Dennis izin untuk pulang
karena sakit. Lalu malam kedua, hujan datang, kami menggunakan selimut,
merangkup diri. Dan keesokan harinya, kami bermain, Andar mengejar Arah. Tebing
tempat Arah berhenti rusak, dan Arah terjatuh.
Mada menghela
napas, ia membuka agenda yang bersangkut paut dengan Edwin. Ketika ia membuka
beberapa halaman. Ia menemukan puisi yang membuat hatinya tergetar kembali saat
membacanya.
Aku saat
ini di Musholla, anak GPS seperti biasa mengoceh terus, mereka beragam sekali,
ada Adiya dan Febry yang pintar menghafal, ada Umar yang pintar matematika, ada
Arief, Anzuru dan Yazid yang suka bicara perempuan kepada Aziz yang selalu
membuat anak itu marah-marah. Dan ada Aziz sendiri yang seingkali menjengkelkan
namun humoris. Aku selalu tertawa melihat kelakuan mereka, walau ketika aku
melihat masa laluku yang benar hitam kelamnya, aku selalu ingin menangis.
Kenangan lama selalu menyiksaku, lalu aku selalu merasa, ada yang datang,
begitu dekat, namun aku tidak tahu siapa. Apakah itu engkau? Khanza?
hantu lama telah kembali
Tak ada fajar, tak ada
mentari
Kenangan baru menunggu
Kenangan lama menyiksaku
Jangan ada lagi yang
pergi
Karna yang pergi tak akan
kembali
Khanza.
Llllll
“Azis, perempuan apa yang kamu suka? Aku akan carikan,
aku punya kenalan banyak lho, kamu nggak tertarik? Ayolah Azis, demi kamu, ini
tandanya kami peduli, agar kamu bisa rapi, pakai parfum tiap hari, menyisir
rambutmu itu. ayolah”
Azis diam sejenak, novel yang ia pegang bergeming dan
wajahnya menunjukkan wajah polos yang kerap kali ditunjukkan anak itu ketika ia
tidak tahu apa-apa. Bagaimana ia memandang namun tatapannya kosong sekosong
lubang hitam, lama sekali berkedipnya. Bahkan Arief ragu, ketika diadakan lomba
melotot seekor belalang melawan temannya. Maka belalang itu akan mati karena
tidak mampu.
“kamu nggak bisa begini terus, baca buku
terus-terusan, nulis terus terusan, itu saja pekerjaanmu, kamu harus merasakan
sedikit hal yang berbeda. Kamu akan rasakan ada perubahan didalam hidupmu Azis,
setelah kamu kenal perempuan, kamu pasti akan menjadi anak yang rapi, ganteng,
seperti yang kami harapkan”Arief kembali merajuk.
Tatapan Azis semakin hitam, kini lubang hitam didalam
matanya seperti menyedot bintang di alam semesta yang meraksasa. Menelan
mentah-mentah, tidak ada yang tahu kemana bintang itu dibawa pergi, dan sama
seperti temannya yang satu ini, tidak tahu kemana alam pikirannya mengembara,
raganya disana, tapi jiwanya adalah seperti bintang malang itu. hilang.
“bagaimana kalau kamu carikan aku Blink”
“Duh! Blink lagi Blink lagi! Azis, itu cuma karakter
novel the Rogue milikmu. Kamu hidup
di dunia nyata, hadapi dengan kenyataan, bukan dengan mimpi-mimpi kosong
itu”cuek Anzuru.
“Blink kan juga perempuan”
“oke begini saja” tukas Yazid pada akhirnya” kita
ambil secara psikologi, warna apa yang kamu suka?
“hijau”
“lalu, dari hewan-hewan berikut ini, pilih satu,
kucing, anjing, atau komodo?”
“sepertinya, aku pilih dinosaurus saja”
Yazid diam untuk sementara waktu, wajahnya menunjukkan
roman bingung, ia menatap Anzuru yang juga menggeleng tidak tahu, Arief
apalagi, ia memilih untuk bersiul kecil melihat ke awan-awan yang bergerak
seperti komodo, merangkak dibawah langit.
“harus hewan-hewan itu, Azis”
“ya ampun, tidak ada dari hewan-hewan tersebut yang
membuatku tertarik tentangnya, kucing terlalu manja. Anjing terlalu hina,
komodo, cuh, aku tidak suka makhluk liuran”
Yazid memberengut, wajahnya ditarik kebawah seperti
orang tidak pernah makan, lalu diantara desahannya yang kian terdengar. Ia pun
berkata dengan cara yang sesopan-sopannya, menakar perkataan agar tidak terlalu
menyakiti, tapi, toh, Azis harus tahu tentang hal ini, maka ia pun berkata
dengan intonasi yang sebaik-baiknya.
“Zis, jodohmu telah punah”
Lllll
Awalnya si Azis pergi menuju kamarnya namun kembali
lagi dengan membawa buku setebal kamus Jhon
E. Coll. Ia menatap kawannya satu persatu dan memperlihatkan buku maha
dahsyat itu, ia yakin, kawannya akan terkejut bukan main.
“Tada! Lihat ini! data kawan-kawanku, data! Dengan
ini, mungkin kita bisa tahu pelakunya!”
“jadi buku itu yang kamu baca kemarin malam itu?”tanya
Yazid, terkejut.
“ya! Walau buku ini setebal buku enslikopedia, sangat
enak dijadikan bantal! Lihat ini teman-teman, agenda milik Edwin”
“benarkah?”Arief bertanya dengan nada alay, masih
kecewa tentang psikologi kawannya.
“yap, mari kita baca bersama-sama, yang jelas, pak
Mada telah memberkan kepada kita tentang data ini sehingga ini akan sangat
bermanfaat kepada siapapun pembunuhnya, bermanfaat untuk menemukan pelakunya!”
Azis menaruh buku itu di lantai musholla. Sementara
itu, kawan-kawan mereka mulai berkumpul, melihat buku fotokopian itu seolah
buku itu adalah pedang raja Arthur yang tercerabut dari batu yang menahannya
berabad-abad.
Azis mengambil poin-poin yang bisa mereka dapatkan
dari buku tersebut. Mengambil stabile yang diberikan Febry.
Andar suka
sama perempuan, dia Playboy, sudah banyak sekali pacar
yang ia putusin namun ia tak kapok juga, teman-temanku menganggap kalau Andar
adalah malaiakat berhati iblis, sementara Tony, temanku yang satuan adalah
iblis berhati malaikat
tunggu, apa itu Khanza? Sepertinya bukan.
Aku sering memikirkan anak itu sekarang, padahal dulu aku sering bertukar
sandi dengan anak itu, ah, andai ia masih ada disini, aku pasti saling tantang
sandi. Itu saja agenda malam ini, sampai jumpa!
Aku dapat
laporan dari adik kelasku kalau ada yang memata-matai aku dari kejauhan,
kata mereka, itu adalah anak putri. Siapa ya, anak putri itu, apa yang
ia sukai dariku? Kata adik kelasku itu, dia akan memberikan hadiah apabila
memata-mataiku, apa yang aku suka, apa yang sering aku lakukan. Dia
disuruh memata mataiku dua puluh empat jam. Hal itu membuatku ingin bertemu
dengannya. Tapi kapan lagi anak itu bertemu ya? Hmmm, kok aku jadi gini ya.
Dasar perempuan! Tapi rasanya ada sesuatu yang tumbuh dalam hatiku, seolah
bunga yang memekar, jarang ada yang suka sama aku walau aku anak scout inti,
dan walau dalam beberapa hal kami bekerja sama dengan anak putri, aku tak
pernah merasakan hal yang seperti ini, seolah gadis itu pernah bersama denganku
untuk waktu yang lama. Duh, aku suka dia nih, siapa pengagum dalam diam itu?
Aku memegang
tangan Khanza, dan Khanza memegang tanganku juga. Namun aku melepasnya, Khanza jatuh,
dan ketika ia jatuh, aku terbangun jam 4 dini hari. Kala itu dinginnya minta
ampun, apalagi diluar hujan deras sekali. Mungkin, hanya aku yang bangun pada
malam penuh kengerian ini. Tapi tak apa, aku segera menarik selimut, mencoba
tidur walau sulit, Khanza, kuharap ia ada disampingku saat ini, sayangnya dia
sudah pergi lebih dulu dariku.
Oh, tadi
pagi, Sandy datang kepadaku untuk menawarkan buah buahan, dia mengeluarkan
belati yang bagus sekali untuk mengupas buah, katanya, belati itu adalah belati
kesukaannya, disana juga ada Andar yang sedang membaca agenda dari anak putri,
kudengar, putri melemparnya dari mobil sampah saat lewat pada jam dua belas
malam.
Saat kutanya
Tony, dia bilang kalau Andar janjian sama anak putri, jadi mereka membuat izin
agar bisa piket malam disaat yang sama, aku tak tahu bagaimana caranya, yang
jelas, hal itu membuatku teringat sama secret admire-ku. Namanya Suryani.
Khanza masih
hidup, aku yakin itu. Koran bohong kalau dia hilang. Memang tak ada yang tahu keadaan Fitri dan Khanza, malam itu hujan
lebat, polisi tak menemukan Fitri yang jatuh di tebing. Kata mereka, Fitri
kebawa arus sungai. Sementara Khanza, kami tak pernah tahu dia dimana, saat
Fitri jatuh, dia masih sama kami, tapi saat kami balik kerumah pohon, tak ada
Khanza. Dirumah pohon hanya ada Tony dan si pintar gambar itu. Mungkin
Khanza turun cari Fitri, tapi, tak ada kabar. aku nggak tahu apakah Khanza juga
keseret arus atau nggak, tapi kuyakin nggak, Khanza masih hidup, aku yakin itu!
Khanza
belakangan datang ke mimpiku, aku takut, dia kayaknya marah. Dia masih hidup,
Khanza masih hidup! Tapi saat kuceritakan sama
Andar, dia marah dan Tony mengepalkan tangan, apalagi Sandy, dia seolah
ingin bunuh aku pake belati buahnya. Aku ingin cari tahu dimana Khanza,
khanza masih hidup! jika Khanza turun
untuk menyelamatkan Fitri, bisa jadi dia ikut kebawa arus, atau mengejar Fitri
yang kebawa arus. Atau mungkin seperti Fitri, mati dimakan…ah nggak, Khanza
masih hidup. Aku yakin itu.
Kenangan
usang yang datang mengejar
Aku berlari
tak kaharuan
Mimpi datang,
oh mimpi burukku
Sementara
cerita usang terlupakan
Setiap orang
kuabaikan
Habislah
cerita lama, hanya ada satu lagu
Kamu.
Dan kenangan
lama yang menghantui
“jadi bagaimana?”tanya Arief”Khanza masih hidup?”
Mereka diam, tidak membalas walau hanya dengan isyarat
mata. Walau buku itu menjelaskan banyak hal kepada mereka tetapi tidak ada yang
mampu mengungkapkan dengan kata-kata. Perihalnya, banyak pertentangan telah
terjadi, pola pikir mereka terbolak balik seperti globe yang dipantulkan.
Agenda ini adalah sebuah persepsi dari seorang anak bernama Edwin, yang
diakhir-akhir tulisan agendanya, ia mulai menulis tentang kawannya yang telah
hilang, lenyap bersama waktu. Ia juga menulis tentang Suryani, yang memantau ia
dengan menyuruh seorang santri untuk mematai-matainya, dua puluh empat
jam---walau pada akhirnya Suryani pindah---itu tidak akan membuat ia terhindar
dari status tersangka.
Lalu Sandy, dengan belati.
Mereka diam, walau ia kini memiliki informasi tetapi mereka
tidak bisa merangkainya sebagai sebuah formasi. Siapa pembunuhnya masihlah
buram, dan hal itu akan membuat kasus ini semakin temaram. Kita bisa mencurigai
siapa saja, tetapi hal itu tidaklah menjadi asli kalau tanpa bukti.
Buku itu seperti menanti mereka untuk memecahkan
misteri, tetapi tetap saja mereka masih tabu akan hal-hal itu, karena apa
gunanya informasi tanpa pengetahuan memecahkan misteri? Mereka diam membisu,
seperti para cerita lampau yang membeku bersama dinginnya waktu.
“jadi siapa pelakunya? Ini tidak memberikan kita
apa-apa”kata Adiya, gusar.
“apa maksudnya dengan AN? Apa ia seperti sebuah
target? Atau seperti sebuah petunjuk?”tanya Anzuru, namun semua diam.
“semuanya semakin menjadi misteri sekarang”desah Azis,
nampak frustasi.
“Petunjuk itu seperti ‘ikan’ yang dipancing paksa, kau
berharap satu, tapi dapat dua”nasihat Arief.
“cara kamu menyebut ikan seperti memancing
manusia”tukas Febry.
“yah, aku dapat kata menyebut ‘ikan’ itu dari Dennis,
entah apa maksudnya”
“Dennis?”tanya Adiya”bukankah kemarin ada dua
kehilangan saat Dennis pulang?’
“Tian dan Ryan, benarkan?”tanya Azis dan Adiya
mengangguk
“oh ya! Si Dennis itu kudengar adalah…”Arief lihat
kiri kanan lalu berbisik pelan”kekasihnya Arah”
“kamu yakin?”tanya Azis
“kenapa semakin lama semakin menyebar lagi yang kita
curigai?”Yazid meresah
Lalu mereka diam lagi, tiada suara selain suara
burung-burung yang bercicit-cicit diluar sana, seperti mereka, berbisik-bisik
tidak jelas, lalu burung-burung itu terbang dibawah awan yang bergerak seperti
pesawat, meluncur pada pepadian.
“tetapi, kita tahu suatu hal saat ini”kata Azis
“apa?”tanya Adiya
“para detektif ini menstalking facebook mereka”
Azis menunjukkan foto anak-anak yang siap berkemah.
Mereka menatap Azis dengan pandangan ingin meremas
tetapi mereka tahan. Mereka memiliki kemajuan, namun masih belum cukup untuk
benar-benar maju. Lalu lembaran itu dibolak balik, satu persatu dan pada
akhirnya, mereka menemukan kenyataan ada sebuah gambaran yang seperti dibuat
dengan tergesa-gesa, seolah ada yang datang perlahan-lahan kearahnya, seperti
melihat hantu.
Seekor burung gagak.
Anzuru diam melihat gambaran tersebut, ia tidak
mengerti, mereka semua tidak mengerti mengapa harus gambar itu yang terpampang
disana. Lalu ketika anak itu menoleh, pandangannya menembus jendela musholla
yang tidak berjendela. Seekor burung ada disana, bersiul-siul, lalu melompat
dari dahan satu kedahan lainnya. Diantara dedaunan yang bergoyang dibawah
semilir angin, gerimis mulai berjatuhan dari kaki langit, melompat dari awan
yang bergerak perahan-lahan, menutupi matahari.
Sementara itu, jauh disana seorang anak duduk diatas
teras asramanya, ketika gerimis itu turun, ia segera berjalan dibawahnya,
merasakan bulir-bulir memeluk wajahnya, menari diantara pori-pori. Ia merasa,
dibawah gerimis, dosanya terampuni.
Bersambung…..

Posting Komentar untuk "Santri Killer Part X : Cadar Hitam"