Takutlah Sewajarnya, Takutlah Secukupnya
Kisah Pemuda dan Seorang Sufi
Ketika HMJ kemarin, aku menatap resah seorang balita yang kepalanya mencuat dari mobil ayahnya. Hadeuh, apa yang terjadi nanti bila bayi itu terkena ranting pohon? Tidakkah itu akan menyakitkan baginya?
Kak Fahriyal yang sejatinya ada disampingku mendengar resahku, dari balik kacamatanya, ia menatapku dan tersenyum dan kemudian memegang pundakku.
“Sini duduk” ucapnya dan segera aku, duduk disampingnya, dia kemudian bercerita.
Dulu pernah ada seorang sufi yang terkenal dengan ilmunya yang tinggi dan terkenal seantereo negeri, hingga suatu hari, seorang pemuda ingin belajar pada sufi tersebut. Dan ketika pemuda itu telah sampai, sang sufi itu hanya tersenyum dan memberikannya sebuah ujian.
Ujian itu sungguh sederhana, sebab sang sufi mengajak sang pemuda hanya untuk tidur disuatu kamar yang dimana bagian bawah kasur tersebut ada ular-ular, sementara pada langit-langit kamar itu ada pedang-pedang yang menggantung, dan akhirnya demi mendapatkan ilmu dari sang sufi tersebut, pemuda itu mengiyakan.
Namun malam itu menjadi menegangkan sebab sang pemuda tidak dapat tertidur, bahkan untuk menutup matanya pemuda itu tidak berani sebab ia tidak akan pernah tahu kapan pedang itu akan jatuh lalu menusuk bola matanya, juga tidak akan pernah tahu kapan ular-ular itu akan merayap naik kemudian menggigitnya.
Akhirnya malam itu pemuda itu tidak dapat tertidur, momentum-momentum waktunya diisi dengan kengerian tiada ujung, setiap detiknya berisi masa tunggu dan membuatnya terus menerus membayangkan hal-hal negatif yang akan terus terjadi kepadanya.
Malam semakin panjang dan pemuda itu tetap tidak bisa tertidur, suara desisan ular semakin keras menusuk telinganya dan gemerincing pedang yang bersentuhan semakin membuatnya membayangkan bagaimana dirinya akan tertebas.
Dan pemuda itu hanya menunggu, dan menunggu adalah waktu yang lama.
Malam berlalu dan pemuda itu telah menyelesaikan malam tersebut dengan kengerian yang tiada terkira, ia keluar kamar dengan kaki gemetaran, langkahnya goyah dan oleng, didepan kamarnya ia akhirnya menemukan sufi itu yang memandang wajah pucatnya.
“Mengapa wajahmu pucat?”
“Oh, sufi, aku tidak dapat tertidur malam itu sebab pedang-pedang yang menggantung membuat diriku tertebas dan ular-ular dibawah kasur itu selalu mendesis sehingga membuatku takut bahwa nanti ia akan merayap kemudian menggigitku”
Sang sufi tersenyum kemudian berkata “Mengapa kamu takut akan hal yang belum terjadi atas diri kamu? Jika pedang itu akan jatuh maka ia akan jatuh, namun faktanya pedang itu tetap disana, dan bila kamu adalah rezeki ular itu, maka ular itu tentunya akan memakanmu, namun lihatlah, ular itu tidak memakanmu, bahkan menggigitmu. Nak, kamu lupa bahwa pada hakikatnya Allah selalu bersama kita, maka dari itu, jangan takut, jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”
Kak Fahriyal mengakhiri ceritanya.
“Tapi tentunya itu maqamnya telah tinggi, kita tentunya sulit untuk menyamai derajat kita dengan orang seperti itu” tambah beliau.
“Nggih kak”
Mengetahui hal itu tentu aku berpikir hal yang sama kepada anak itu, sebab mungkin aku terlalu paranoid, dan struktur otak manusia memang diciptakan untuk parno sebab paranoid membuat kita menganalisa serta menciptakan rencana yang akan kita lakukan jika hal buruk terjadi nanti.
Jadi aku bertanya.
“Lalu apa batas kita paranoid kak? Kan wajar kita paranoid atau takut, jadi boleh nggak misalnya kita taruh motor terus ada kuncinya”
“Oh, itu jangan, takut ya seperlunya, sebab seperti yang saya bilang tadi, orang seperti itu maqamnya telah tinggi, kalau orang seperti kita cukuplah hal-hal yang akan kita ketahui tidak terjadi”
Aku mengangguk-angguk karena paranoid adalah bagian dari hidupku, dan tentunya adalah bagian dari komedi. Terkadang aku membayangkan naga akan keluar dari danau ini, memakan manusia-manusia yang belum sholat dan menelannya mentah-mentah.
Namun seperti yang kak Fahrial bilang, jangan takut akan hal yang belum tentu terjadi, takutlah sewajarnya, takutlah secukupnya.
Posting Komentar untuk "Takutlah Sewajarnya, Takutlah Secukupnya "