Dilema, Sebuah Video Pendek
Dilema, Sebuah Video Pendek
Masih tahun pertama aku kuliah, namun aku sudah terbebani oleh banyak tugas yang membuat otakku seakan meledak. Akan tetapi, tiada yang lebih menyenangkan daripada pembelajaran yang berbau kreatifitas, sebab kreatifitasku berasal dari kegabutan yang terpendam.
Aku memikirkan banyak hal, akan membuat apa, akan melakukan apa. Fajaria, teman sekelasku memutuskan bernyanyi sebuah lagu yang katanya karangan Rossa, Ketika Cinta Bertasbih.
Aku tidak hafal lagunya, akan tetapi, aku tahu buku dan filmnya. Apakah aku pernah membaca bukunya? Entahlah, aku lupa.
Aku merenungi banyak hal, melompat dari satu pemikiran ke pemikiran lainnya, kemudian terjerembab pada dalamnya penyiksaan dan pengkhianatan yang terjadi di dunia. Manusia seolah telah kehilangan kiblat mereka, seolah para nabi telah mati, padahal para nabi tidak pernah mati, ideologi mereka masih hidup, masih kita hirup.
Syaraf-syarafku terus aku biarkan berpikir, kubiarkan ia menjelma kuda yang menerabas padang ilalang dengan bebas tanpa pernah khawatir akan duri-duri yang diinjaknya. Ketika rumput dan semak belukar telah terlewati, hanya goresan luka yang masih tersisa, menandakan bahwa kuda itu masih hidup dan bernafas layaknya kuda lain.
Namun apa? Pertanyaan lagi, pemikiran lagi, merenung pada dalamnya imajinasi dan kembali berenang pada kubangan pemikiran yang abadi. Aku berpikir maka aku ada, itulah ucap kawanku, namun dalam hal ini, mungkin kalimat yang paling tepat adalah aku berpikir maka aku tahu akan membuat apa.
Dan pilihanku jatuh pada satu hal, yaitu puisi.
Aku menyukai hal-hal yang berbau sastra, sebab sastra akan membuat kita jatuh pada pelukan imaji yang tidak pasti. Sastra adalah keindahan, membuat kita berpikir makna yang ingin diucapkan manusia kepada alam semesta.
Akan tetapi mungkin sastra adalah hal yang terdiskriminasi di ibu pertiwi, seperti kata Chairil Anwar, bisa jadi sastra adalah anjing yang dibuang oleh golongannya sendiri. Sebab disini, nilai diatas ijazah adalah segalanya, Tuhan kami angka, sebab Tuhan yang asli telah kami bunuh, dan kami adalah pembunuhnya.
Puisi, cerpen, novel, maupun prosa bisa aku katakan sebagai media penyalur sastra itu sendiri, dan aku menyukainya. Sementara drama, aku memilihnya sebab aku bisa menjadi guru tanpa harus menggurui. Aku bisa menjadi manusia dibelakang layar yang menggerakkan wayang-wayang tanpa haus akan perhatian.
Lalu akhirnya aku memantik imajinasiku, mengeluarkan sifat kritisnya yang brutal. Dan ketika ia kulepas, aku menyerang banyak hal, melepaskan belati-belatiku agar menancap pada tempat-tempat yang tepat, pada hati-hati yang bejat.
Melalui puisi berbentuk drama ini, aku berharap pesanku dapat tersampaikan dengan baik, kendati tidak bisa secara nyata, aku percaya bahwa pilihan kita satu detik ini akan mampu merubah segalanya. Dan aku membuatnya.
Hasil perenunganku menciptakan sebuah puisi yang berjudul Dilema, pemberontakan sekaligus rintihan seorang mahasiswa terhadap sistem yang dibuat secara semena-mena. Aku menyinggung bagaimana dunia mampu menciptakan obat-obat ampuh disaat manusia-manusia yang tinggal di Bumi malah menjadi rapuh.
Aku juga menyinggung bagaimana manusia menjadi begitu naif, semua dimasukkan kedalam kamera, tanpa pernah berpikir bahwa semua memiliki rasa malu, tanpa pernah berpikir semua memiliki privasi.
Dalam dunia yang tidak jelas arahnya, aku dan kamu sama-sama saling menelanjangi sampai kita semua sudah tidak lagi memiliki harga diri. Aku takut jika evolusi terus terjadi, anak-anakku nanti terlahir tanpa kemaluan, sebab rasa malu telah lama mati.
Kita adalah pecahan dilema yang tersebar diatas muka Bumi. Kita terlahir dari buku yang berbeda-beda namun sok tahu hanya dengan melalui halaman yang kita baca. Padahal sederhanya, aku dan kamu adalah dilema, suatu ironi yang terus berjalan diatas jembatan tragedi. Berharap diujung jalan, kita dapat meraih surga yang kita ingini, dan dengan perlahan, terbang menuju altar yang ingin kita tempati.
Aku membuka mataku lebih lebar, menerima intensitas cahaya lebih terang daripada sebelumnya dan berharap bahwa aku telah terlepas dari kebutaanku akan dunia. Namun aku juga takut akan banyak hal, sampai tidak mempercayai lagi cahaya yang memelukku apa adanya, berpikir bahwa cahaya itu adalah ilusi semata yang akan membawaku pada kematian yang abadi.
Pun aku juga kerap berpikir bahwasanya aku adalah segumpal daging kegagalan, mungkin karena mentalku telah rusak berkali-kali dan aku terus memakasa untuk memperbaikinya. Menyedihkan? Mungkin. Bangkit berkali-kali bukanlah hal yang mudah, terkadang kita perlu lebih sering rebah untuk melihat gemintang yang bercahaya pada alam semesta.
Akan tetapi waktu tidak pernah menunggu, ia berlalu seperti kereta api tanpa rem yang menuju jurang kehampaan. Ia begitu cepat, bersemangat, namun ujung-ujungnya, hanya membawa kita pada kekosongan dan alam yang abadi.
Aku dan kamu sama, kita lahir di dunia yang sama, diatas bumi yang sama, dibawah langit yang sama. Yang beda, kamu memiliki kisah hidupmu sendiri, dan aku pun begitu. Kamu memiliki bab-bab buku yang akan kamu lalui, sementara aku pun begitu, namun aku berharap, disuatu waktu yang terus bergerak maju, halaman aku dan kamu memiliki momentum untuk bersatu hingga kita bisa bertukar cerita, bertukar pengalaman melalui halaman buku kehidupan yang telah kita jalani.
Hidup ini panjang, jangan menghabiskan waktumu untuk bunuh diri seperti di akhir video ini. Percayalah, semua akan indah pada waktunya, semua akan harum pada waktunya, semua akan bewarna pada akhirnya. Kita hanya perlu memantaskan diri sebelum semua hal itu terjadi.
Terima kasih telah mendengar ocehanku, dan terima kasih.
Dan well, ini videonya.
Posting Komentar untuk " Dilema, Sebuah Video Pendek"