Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profesionalisme Dalam Kelas Yang Sepi

 

Profesionalisme Dalam Kelas Yang Sepi

Berbicara mengenai pondok maka berbicara mengenai kenangan yang telah kami lalui, dan ada begitu banyak mozaik kenangan yang bila disatukan menjadi pecahan-pecahan yang indah. Aku adalah sekian dari manusia yang beruntung bisa bersatu bersama orang-orang hebat, dalam satu bahtera, kami mengarungi lautan ilmu yang luas sembari menerjang badai-badai yang menghadang.

Ketika Ova dan Adiya menyarankan aku menulis lagi, aku segera memantik kenangan usang yang tersembunyi dibalik-balik syaraf, menemukan mana yang paling bagus untuk aku ceritakan, namun semuanya bagus, hal yang membuatku pada akhirnya bingung mau memilih yang mana.

Namun marilah kita membalikkan waktu saat aku masih berada di kelas 1 B, aku bersama Irvan Maulana, Lalu Wardana, Ilham Hamdi, Agung Maulana, dan teman-temanku yang kini sedang berada pada belahan Bumi yang entah bagian mana.

Kenangan ini teringat jelas dalam benakku, sebab saat itu bulan Ramadhan dan seperti Ramadhan yang lain, panasnya Ramadhan mulai mengeluarkan taringnya, menjalar pada tembok-tembok kelas lalu menghisap cairan kami. Kami dehidrasi, keringat bercucuran dari pelipis dan segera lenyap ketika jatuh ke lantai yang panasnya seperti lava.

Didepanku, seorang ustad yang begitu sabar sedang menjelaskan materi pembelajaran kali ini, tapi sungguh, kami tak kuat. Teman-teman dibelakangku telah tewas terlebih dahulu, nyawa mereka terambil dan pergi studi banding ke bunga mimpi. Beberapa kawanku yang sudah tidak kuat menahan gravitasi meja hanya terkulai lemas dengan pipi menyatu dengan meja, pada tepi bibirnya mulailah mengalir sungai Nil yang segera membentuk negara.

Aku tidak sempat negara-negara mana yang telah diciptakan, namun rumor mengatakan bahwa salah satu negara yang telah diciptakan adalah Madagaskar, tempat banyak hewan eksotis hidup didalamnya.

Semakin menjelang siang, kelas semakin memanas, cairan kami terkuras habis namun aku masih mencoba untuk bertahan. Didekatku, Agung Maulana, rival terberatku, sedang mengangguk-angguk seperti mendengar lantunan musik DJ. Dan berakhirlah sudah, kini tinggal aku didalam kelas yang sedang berjuang untuk tidak tertidur, aku begitu terasing, merasa ditempat ramai namun terus merasakan sepi. Suara dengkuran yang halus, sungai Nil yang sedang membuat negara Amerika….segalanya membuat otakku tidak bisa terfokuskan pada satu hal.

Namun didepan kelas, ustad Rajendi tidak sedikitpun merasa lelah, ia tetap memberikan senyuman manis kepadaku kendati hanya aku yang memperhatikan. Pada papan hitam tertulis huruf-huruf hijaiyah yang semakin mengabur dari pandanganku. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan selain membalas senyuman ustad Rajendi, jadi ketika mataku semakin memerah, aku memaksakan diri untuk tersenyum, alih-alih manis seperti senyuman ustad, aku malah seperti anak dedemit yang tidak diakui orangtuanya sendiri.

Namun kelas pada akhirnya berakhir ketika bel berbunyi, dan walaupun kelas berakhir, ustad Rajendi masih tegar, tubuhnya seolah terbiasa dengan semua ini, keramahannya yang merasuk kedalam nadi seolah menjelma berkah tersendiri untuk kami.

Kami menghambur ke asrama Sholahudin dengan cepat karena para mudabbir dengan sajadah disamping pundak mereka, ditambah dengan tangan terangkat tinggi, yang sudah kami tahu bahwa kami tidak memiliki waktu untuk berleha-leha. Namun senyuman ustad Rajendi yang ramah tamah masih membayang dalam benakku, menciptakan sarang tersendiri diantara syaraf otak sehingga abadi.

Kala itu aku tidak mengerti mengapa aku sebegitu dihargai, aku hanyalah seorang manusia yang masuk ke pondok pesantren hanya untuk terlepas dari aturan keluarga dan menepi dari dunia yang semakin lama semakin gila.

Namun ketika aku beranjak remaja, ketika logikaku mulai terbentuk aku menyadari bahwa beliau tanpa sengaja maupun disengaja telah mengajarkan aku wujud asli dari ‘Profesionalitas’. Beliau telah mengajarkan aku bahwa guru sejatinya memang harus begitu, mereka harus paham dan peka pada anak didik mereka dan bukan malah emosi.

Beberapa menit dikelas itu telah merubah alur hidupku seutuhnya, membuat aku bertanya pada diriku yang hina: Sebenarnya aku seberharga apa? Aku seberharga apa sampai aku diperhatikan sebegitu seriusnya? Bukankah dalam suasana seperti itu, beliau bisa meninggalkan kami dan membiarkan kami terlelap dalam mimpi kami?

Namun semakin lama aku berpikir bahwasanya ternyata untuk seorang guru, aku begitu berharga, hal yang kemudian membuat aku percaya pada diriku sendiri dan terinspirasi menjadi beliau. Aku juga ingin sabar dalam situasi apapun serta terus profesional dimanapun aku berada.

Kisah yang aku alami ini sangat erat kaitannya dengan cerita yang dipaparkan Doug Hooper. Dalam buku Anda Adalah Apa Yang Anda Pikirkan, ia pernah bercerita bagaimana ia menempuh puluhan mil pada badai ekstrem yang melanda kotanya, dan ia saat itu sedang mengendarai mobil tuanya yang borosnya minta ampun. Ketika diperjalanan, mobil tuanya tewas dan tidak bisa lagi dihidupkan, ia bahkan tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sebab dalam jalan yang sepi tersebut, kemungkinan terburuknya adalah ia akan mati.

Akan tetapi beruntung ada seorang pria yang menerobos badai, memberi salam dan mencoba memberikan bantuan dengan memperbaiki mobil yang sedang ditumpangi Doug, dan hebatnya, mobil itu menyala!

Ketika hendak pergi, lelaki penolong itu berkata “Setiap mobil paling sedikit akan hidup sekali lagi bila diberi perhatian yang semestinya!” sang penolong itu pun melanjutkan “Prinsip yang sama juga berlaku bagi manusia, ingatlah pada suatu hari, kelak anda akan punya kesempatan untuk menerapkan pengetahuan ini. Ingat bahwa selama masih ada sedikit percikan api, belum terlambat bagi sebuah mobil atau seorang manusia untuk membuat awal yang baru”

Dan dalam kelas itu, aku tidak pernah menyangka bahwa kami adalah mobil tua seperti yang ditumpangi Doug Hooper, kami rusak dan berkarat, merasa asing dan tidak dipedulikan. Namun ustad Rajendi, dengan kesabaran dan perhatiannya, telah membuat kami hidup kembali menjadi seorang yang baru, bak burung Phoenix yang membakar dirinya menjadi abu agar kembali muda.

Dan saat itu, aku telah terlahir kembali.

Aku berharap guru-guru di Indonesia seperti beliau, ramah dan murah senyum, memberikan perhatian lebih kepada murid mereka dan memandang mereka sebagai seorang penuntut ilmu. Dalam dunia digital, banyak guru yang semestinya memberikan perhatian lebih malah berakhir menjadi malas dan monoton.

Dan andai semua guru di Indonesia seperti ustad Rajendi, aku percaya banyak hal yang akan berubah…

Kini aku telah jauh dari pondok, namun kenangan itu tetap membekas dalam benakku, senyuman ramahnya yang kerap membuat aku percaya bahwa aku--yang memang malas--juga harus bisa se-profesional beliau.

Sudah lama pula aku tidak pernah bertemu dengan beliau, kenangan yang aku ingat adalah ketika aku menyalami beliau dan menceritakan bahwa aku adalah anak yang ia terangkan ketika aku di kelas B dulu, kemudian ia mengelus kepalaku.

Dan kini, aku memamg jauh dari pondok, namun aku masih bisa mendoakan beliau dan semua guru-guruku di pondok pesantren Nurul Haramain yang telah mendidikku sedemikian rupa. Engkau adalah udara yang tiada bisa dihargai, dan aku dari tempat ini hanya bisa titip salam, semoga rahmat dan hidayah selalu tercurah padamu guruku…

Amin…

#FarFromHaramain

 

Profesionalisme Dalam Kelas Yang Sepi di Nurul Haramain
Image by JhonDL/Pixabay

Posting Komentar untuk "Profesionalisme Dalam Kelas Yang Sepi"