Santri Killer Part II : Suatu Malam di Sebuah Kelas
Suatu Malam di Sebuah Kelas
Pentas
seni berlalu begitu saja. Malam menjelang dan para pedagang mulai menutup toko kecil mereka. segera, penjual penjual itu
beranjak pergi meninggalkan kenangan yang hanya bisa dikenang. Berharap akan ada acara lagi
dimana mereka bisa mengais rizki dengan cara yang sebaik-baiknya.
Bagi santri, jarang
sekali mereka bisa membeli jajanan luar. Pentas seni adalah tempat hal itu bisa
terkabul. Namun selepas
jam 12 malam, hanya background
yang berdiri gagah nan megah, sementara santri-santri telah ada didalam kamar mereka, tidur lelap diatas tikar dan bertarung dengan bunga mimpi.
Namun
tidak halnya dengan anak itu.
Anak
itu berdiri menatap langit. Pandangannya terpaku kepada bintang bintang.
Malam yang dingin. Gerimis turun walau
tak ada awan yang benar-benar menutupi langit.
Ah, dosa masa lalu terasa terbuang disaat bulir-bulir
mungil itu menyentuh pori pori kulitnya. Ia menutup mata dan membiarkan
perasaan lama itu membenamkannya pada sebuah kenyataan bahwa dulu ia melakukan
dosa yang baginya mustahil untuk dilupakan. Kenangan itu datang lagi, setiap gerimis yang
menjelma hujan, ia selalu menatap kearah langit mencoba meminta pengampunan
namun semua terasa mustahil, perasaan kosong datang menyentaknya, membawanya
kembali dalam keadaan yang benar-benar hampa.
“Andar?”suara
itu membuat anak itu menoleh.
“Tony?”Andar
menyipitkan mata ketika sebuah bayangan mendekatinya perlahan. Nampaklah anak
dengan kulit kecoklatan yang berjalan kearah Andar. Menaiki tangga dan berdiri
disampingnya.
“apa
yang kamu lakukan?”Tony menatap Andar dengan pandangan
menyelidik. Gerimis dilangit nampak ingin membesar menjadi hujan namun tertahan
oleh titah sang kuasa. Bulirnya serasa alunan melodi yang menentramkan, namun tak ada jawaban.
Andar
hanya terdiam sementara hening datang merayapi mereka. jemuran santri berkibar
pelan digerakkan angin. Dedaunan mangga
tak jauh
dari sana juga begitu. Namun Andar
masih dalam pendiriannya untuk diam dan memutuskan agar menutup mata lalu
membiarkan kembali gerimis itu membelai wajah miliknya.
“masa
lalu nggak akan pergi kalau cuma kamu ratapi”
Gerimis
mengisi kekosongan antara mereka berdua. Namun perkataan itu sanggup membuat
Andar lebih merapatkan mata dan menikmati setiap tetesan yang ada. Setiap bulir
yang sulit tertangkap mata menyesap di pelupuk. Jutaan lagi jatuh keatas tanah
dan hanya menjadi kenangan yang terlupakan.
“ayo
tidur”Tony mengajak karena merasa ketus tak dijawab
“duluan
aja”Andar masih menutup mata
“besok
kamu pasti lama dibangunin”
“biarin!”Andar tetap menutup mata
Tony
menghembuskan napasnya kecewa. Segera ia berbalik arah dan beranjak pergi, tapi
sebelum itu, ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada Andar. Entah perasaannya
atau bukan. Ia merasa berbeda bila dekat anak itu sekarang, karna
ada aura baru yang muncul ketika bersama
Andar. Seolah anak itu adalah mesin tak berperasaan yang bergerak sesuai sistem
yang telah ditentukan, misalnya seperti robot.
Tony
merasa Andar berubah, tentu. Namun ia tak
bisa membuktikannya kecuali dengan kata kata, dia mengingat mengapa Andar seringkali menatap langit, merasakan tetesan gerimis sebelum hujan. Karna pada
setiap bulir yang turun, tersimpan cerita-cerita lama yang belum usai. Tersimpan pada saraf terdalam otaknya dan membuat ia
tak tau apakah tindakannya itu sebuah kebenaran atau sebaliknya.
Tony ingat, tepatnya tiga tahun lalu. Kala itu gerimis menjelang hujan, disebuah rumah pohon yang
menjadi saksi antara mereka, diantara dedaunan dan akar-akar yang mencuat seperti ular diatas tanah. Dua
temannya hilang. Tanpa sebab. Sudah jelas Andar mengingat kawannya, juga gadis
itu. Namun kini mereka tiada, tak tahu bagaimana rimbanya. Masihkah mereka
hidup? Atau mereka masih dihutan itu ? tak ada yang tahu. akankah rumah pohon yang mereka bangun
bersama masih terjaga? Atau hanya sebuah kenangan usang yang perlu dibuang? Sama, tak ada yang tahu.
Tony
beranjak pergi,
menuruni tangga dengan gerutuan yang hanya bisa didengar dirinya sendiri. sementara itu. Andar masih disana.
Berdiri menatap langit dimana bintang bintang berkejapan disaat gerimis
membelai kulitnya. Andar tak tersenyum, tak juga cemberut. Wajahnya tanpa
ekspresi. Lalu ia menoleh kepada Tony yang telah
pergi.
“ada
yang harus kulakukan”kata Andar
namun
tak ada satupun yang mendengar.
Lllll
Ah,
malam datang seperti mimpi baru, memberikan udara baru, pengalaman baru, cerita
baru. namun sedikit sekali yang bersemangat walau bulan tersenyum ramah.
Gerimis masih berjalan namun seperti yang kita tahu sebelumnya; Bukan alasan yang bagus untuk para piket malam untuk berisitirahat, gerimis bukanlah halangan, karna tanpa mereka, pondok laksana dunia tanpa
lapisan ozon. Berantakan.
“ayo, Rahman!”
Rahman
mengambil sampah dihadapannya dan dibuang ke bak sampah. ditatapnya Fikri dan
akhirnya, anak dengan rambut berjambul itu
berkata”kita bersihin dulu di disini, nanti kita bawa ke PMB”
“lihat?
Udah bersih”
“belum”Rahman
menyapu sampah sampah kecil dengan sapu lidi bagian kebersihan. Dikumpulkannya
jadi satu kemudian dengan cekatan diambilnya dan dimasukkan kedalam bak sampah.
“kita
biarin aja sampah kecil itu, percuma, nggak bakalan
hilang”
Namun
Rahman tak peduli. Ia tetap menyapu pelan seolah sampah itu adalah harta yang
begitu berharga. Memang, malam setelah Pentas Seni adalah malam dimana sampah
sampah bergumul menjadi satu kesatuan besar laksana gunung Uhud. Sampah besar menyebalkan dan sampah kecil
menyulitkan. Bagi Rahman, yang esok bercita cita menjadi bagian kebersihan, menganggap sampah yang satu sama dengan sampah yang
lain. Entah besar dan kecil, sampah adalah sampah yang harus dilenyapkan.
“Ayo
kita bawa ke PMB”kata Rahman kemudian. menatap Fikri yang sedang memungut
sampah dedaunan kering.
“oke”
PMB
adalah tempat dimana sampah sampah menemui ajalnya. Diseluruh pondok ini,
sampah akan dikumpulkan menjadi satu tempat dan dieksekusi kedalam sebuah tugu
berapi. Sampah akan didorong paksa, entah bagaimana jenis atau ras sampah
tersebut,
semua akan berakhir dengan nasib yang sama. Kecuali ada beberapa yang selamat dari neraka PMB.
Salah satunya, tentu saja adalah gelas dan botol plastik.
Maka
beryukurlah jika ada Pentas Seni. Karna pada acara acara pondok yang dihadiri santri
walisantri. Sampah yang bisa didaur ulang itu banyak sekali. Jika dikumpulkan
dan jika kamu cukup pintar, kamu bisa membuat kreasi-kreasi dengan sampah itu. Namun ada pilihan lain dan
pilihan inilah yang sering digunakan; Botol dan gelas plastik dikumpulkan
menjadi satu, dikarungkan, lalu setiap bulan dibawa ke tempat khusus. dengan
botol gelas plastik tersebut, Dapat dikumpulkan uang dengan nominal, setidaknya, dua juta lebih. Hebat kan? Itupun bisa lebih atau tidak,
coba bayangkan dua juta dikalikan dengan 12 bulan. Sungguh hasil yang bisa
membuatmu tersenyum sendiri.
Sinar
rembulan tertutupi bulan ketika Rahman bersama Fikri mengangkat bak sampah itu
pelan. Tak berat namun cukup menguras tenaga. Daripada mengambil arah memutar
depan Rusunawa. Mereka berdua memutuskan mengambil jalan koridor kelas KMI.
Koridor itu sebenarnya berlampu namun sayangnya lampunya dimatikan sehingga
koridor cukup gelap, suasana selalu mencekam apalagi disana banyak terjadi kisah kisah
ghaib yang lebih baik tidak diceritakan.
Dilintasi koridor itu pelan, suara langkah kaki mereka terdengar bertalu talu
sampai
berhenti tiba-tiba karna menginjak sesuatu yang lengket.
“apa
ini?”Fikri melepas bak sampah lalu menunduk pelan dan menyentuh cairan lengket
itu.
“aku
nggak bisa ngelihat, ayo! kita buang ke PMB, nanti
kita
diceramahin bagian
kebersihan”Rahman mengingati akan bak sampah yang mereka bawa namun Fikri sama sekali tak mendengar. Pandangannya
tetap menuju ketangannya. Sedangkan, tangannya
bergetar.
Rahman
menunduk melihat apa yang sebenarnya ia injak.
Darah.
Kala
itu malam. Bulan bergerak pelan dan menyelimuti dirinya dengan sang awan. Pada
luasnya langit yang ditaburi bintang seperti taburan keju, bintang bintang
mengerjap ngerjap ingin tahu apa yang terjadi. Namun tak ada yang berani
bercerita, tak ada yang berani berkata kata.
Kala
itu malam datang dengan sebuah kisah baru, adegan baru, mozaik, kenangan...
Namun sayang, malam itu tak begitu indah. Karna awal dari kisah itu dimulai
dengan darah yang mengalir pelan didepan koridor.
Sementara
itu, Suara teriakan membelah malam.
Dan cerita ini dimulai.
Posting Komentar untuk "Santri Killer Part II : Suatu Malam di Sebuah Kelas"