Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Romance : Seputih Plastik

 Seputih Plastik

Gelas plastik bewarna putih itu bergeming kendati tangan pemuda itu baru saja menyentuhnya. Kosong. Tiada apapun dalam gelas tersebut, mungkin secara perpsektif lain maka gelas itu berisi udara juga bakteri-bakteri, secara perspektif lainnya lagi bisa jadi gelas itu berisi zat-zat yang pemuda itu tidak mampu pahami. Namun tetap saja dalam pandangan Ryan, gelas itu hanya sebuah gelas plastik kosong yang tidak memiliki isi, tiada berguna.

“Untuk apa kamu mainin gelas itu?” Fareha bertanya, perempuan berkacamata itu meletakkan buku yang telah ia baca diatas meja makan kemudian duduk di kursi dapur. 

“Memangnya kenapa? Bukan urusanmu bukan?”

“Hey, jangan kasar kepada perempuan dong”

“Halo emansipasi wanita, gimana kabar?”

“Dasar nakal”

“Kamu kapan datangnya? Aku nggak dengar suara motormu”

“Ya ampun, kita sudah sahabatan lama Ryan, kau masih tidak bisa mendengarkan aku yang datang tiba-tiba?”

“Mau kamu, mau setan, mau maling, kalau datangnya tiba-tiba, tetep aja aku nggak akan tahu”

“Berarti kita nggak satu frekuensi dong” Fareha menopang dagunya dengan tangan kanannya, menatap Ryan yang masih membawa gelas plastik bewarna putih tersebut.

“Jangan bicara masalah frekuensi kalau kita saling gak tahu di aliran radio apa”

“Kamu lucu”

“Kenapa?”

“Kamu masih membawa gelas itu walau kamu gak gunain, padahal kamu tahu bahwa gelas itu akan bermakna kalau ia terisi”

“Astaga, kamu perhatian banget! Sampai perhatiin aku yang masih bawa gelas”

“Ya gimana aku nggak perhatiin, tingkah laku kamu aneh”

“Aneh gimana”

“Bawa gelas kosong aneh lho”

“Lah, bisa jadi aku akan ambil air”

“Heloo, kalau kamu mau isi air, ya pasti sudah dari tadi”

“Ya, kan aku lagi mikir mau buat apa, kopi kah? Teh kah? Susu kah? Kan terserah aku”

“Ya terus, kamu pikirin apa sampai lama begitu?”

Ryan diam, ia pun tidak tahu harus menjawab apa. Matanya mengarah kepada Fareha yang menatapnya dari balik kacamata persegi, membuat perempuan itu lebih terlihat seperti seorang dokter daripada seorang perempuan yang mengambil jurusan sastra Inggris.

Ia kemudian meletakkan gelas yang ia miliki didekat wastafel, berbalik hadap lalu menatap Fareha yang masih diam dalam posisi yang sama. Mata mereka bertemu untuk kesekian kalinya dan lagi-lagi Ryan harus menepis imajinasinya akan Fareha sebab ia hanya dua orang sahabat.

“Bagaimana kabar pacarmu?” tanya Ryan kemudian, menarik sebuah kursi dan didudukinya sampai ada suara berderit.

“Kenapa tiba-tiba menanyakan tentang Irwan?”

“Aku kan mau tahu”

“Dia baik-baik aja kok, masih sering main basket tuh anak”

“Bagus dah kalau begitu”

“Ada apa?”

“Yaa, aku mau tanya aja, salah?”

“Nggak salah, tapi aneh”

“Aneh dimananya?”

“Kayak kamu sembunyiin sesuatu”

“Farehaa, aku bukan objek benda yang bisa diidentifikasi seperti novel-novel yang kamu baca, aku manusia ya wajar punya privasi sendiri”

“Tapi kamu dari dulu nggak kayak gini”

“Berarti sekarang privasiku lebih banyak dari kemarin”

“Kamu aneh Ryan, semenjak kamu membantu Irwan tembak aku, sifat kamu berubah, kamu gak kayak Ryan yang aku kenal lagi, kamu lebih pendiem, lebih cuek, seolah kamu jadi orang asing dikehidupan aku. Kalau kamu ada masalah, cerita Ryan! Kita dari kecil bareng dan saling mengerti satu sama lain, kenapa kamu tiba-tiba jadi gini belakangan ini?”

“Aku nggak berubah Far, aku ya aku, sejak kapan aku berubah? Aku ngerasa biasa aja, nggak ada yang perlu dikhawatirin”

“Nggak, kamu salah, gimana aku nggak khawatirin kamu coba, kalau kamu jadi diem kayak gini, setiap kali aku sama orang baru, kamu jadi makin aneh tahu!”

“Far, kita cuma sahabatan, cuma SA-HA-BA-TAN. Ya wajar aku buat jarak, kamu pikir mudah buat jarak setelah persahabatan lama kita? Kamu udah jadi milik orang lain Far, kamu udah dikapitalisasi, kamu mungkin akan tetap sahabat aku, tapi kamu tetap miliknya. Dan gak akan wajar kalau kamu lebih dekat dengan aku daripada dengan orang yang kamu pacari!”

“Tapi kita sahabatan Ryan!” Bentak Fareha keras sembari berdiri dan membuat kursi yang ia duduki berderit kebelakang. Ryan yang melihat emosi Fareha mulai tidak terkendali dengan perlahan berdiri dan siap menjaga Fareha dari hal yang tidak-tidak.

“Aku tahu, terus apa kata orang-orang kalau kamu lebih dekat dengan aku daripada Irwan? PHO kan? Perusak Hubungan Orang? Dan kamu mau aku akan dianggap begitu sama anak-anak itu? Dianggap pengkhianat sama Irwan, temenku sendiri?” 

“Kamu jahat Ryan! Mengatasnamakan aku untuk membuat jarak antara kita! Aku sayang sama kamu Ryan! Aku hargai privasi kamu, apapun tentang kamu, tapi nggak cukup ya jarak yang kita buat?” Fareha menahan isaknya namun ia tidak kuasa, segera airmata membanjiri pipinya dan menetesi lantai dapur. 

Ryan menarik napasnya dengan berat “Aku juga sayang sama kamu Fareha, aku akan tetap sayang sama kamu sebagai sahabat, dan nggak akan pernah lebih” Ryan mendekat Fareha dan menjulurkan tangannya, namun Fareha menepisnya keras.

“Terus kalau kamu sayang sama aku! Kenapa kamu kasih aku ke laki-laki lain?! Kamu jahat! Kamu bajingan! Sudah Ryan! Cukup!” Fareha melempar bukunya kewajah Ryan namun mampu ditepisnya. Buku karangan William Shakspeare itu jatuh dilantai dapur dengan posisi menelungkup.

“Aku minta maaf” Ryan hanya bisa pasrah, terlebih ketika Fareha berbalik hadap dan berlari meninggalkan Ryan sendiri disana. Ryan ingin mengejar, namun logikanya mengatakan bahwa ia harus membiarkan Fareha sendiri untuk saat ini.

Ryan yang masih terdiam lama pada akhirnya memungut buku itu dan menaruhnya diata meja, diambilnya gelas plastik bewarna putih tadi dan diisikan air sebanyak-banyaknya, kemudian ia meminumnya.

Rasa dalam persahabatan selalu rumit, karena ia memiliki resiko yang tinggi untuk gagal maupun berhasil. Dan pacaran, pacaran tentu bukanlah pilihan karena dia tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti, hal yang dia tahu adalah dia bisa kehilangan Fareha selamanya bila ia memilikinya. Dan dalam hal ini, ia percaya bahwasanya lebih baik tidak pernah memiliki daripada kehilangan orang yang kita cintai.

Ryan menatap gelas plastik itu, mengingat apa yang dikatakan Fareha bahwasanya gelas akan bermakna bila ia terisi. Namun kini ia merasa bahwa gelasnya serupa dengan hatinya, ia tidak memiliki makna sebab airnya belum terambil. Dan kini, ia tidak tahu dimana air itu berada, hal yang membuat ia berdiri dan segera mengejar Fareha.

Dan mungkin, ia bisa berkata:

Aku mencintaimu, Fareha.

 

Baca Juga : Lapar Yang Membara


Cerpen Romance Tentang Persahabatan
Inspirasi Cerpen Seputih Plastik


Posting Komentar untuk "Cerpen Romance : Seputih Plastik"