Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Humanis : Lapar Yang Membara

Lapar Yang Membara

Kumpulan Cerpen Horror
Ilustrasi Orang Kelaparan (Kasun Chamara/Pixabay)

Perutnya keroncongan semenjak tadi namun sayang pemuda itu tidak memiliki apapun untuk dimakan. Kontrakannya bahkan sudah tidak memiliki nasi, hanya ada setoples gula dan setoples kopi, dan tentunya, ia tidak mungkin akan menjadikan dua hal tersebut untuk mengganjal perutnya.

Namun pemuda ini sudah tidak memiliki pilihan, perutnya yang bergejolak sudah tidak dapat lagi ia tahan. Segera ia berlari pada dapur kontrakannya, mencari gelas, memasukan kopi dan gula menggunakan sendok, kemudan mengambil termos menggunakan tangan kirinya.

Beruntung! Masih ada air panas disana, maka segera ia menumpahkannya kedalam gelas dan imajinasinya membaur bersama debit-debit air yang menimbulkan suara. Kopi itu panas, ia segera mengambil tatakan dan membawa kopi itu ke teras kontrakannya.

Kala itu pagi datang dengan cuaca yang tidak baik, pohon mangga didepan kontrakannya telah habis sebulan yang lalu, begitu lucu bagaimana hujan disertai badai menjatuhkan buah-buahnya bulan lalu, juga ia yang harus berlomba dengan kelelawar untuk mendapatkan buah mangga yang manis. Namun kini semuanya raib, bahkan daun-daun mangga itu seolah mengenyahkan pemuda itu dari kehidupan, membuat daun-daun itu lebih memilih menguning dan mati, kemudian menjadi sampah didepan kontrakan daripada harus berhadapan dengannya.

Kini pun masih kerap terjadi hujan, bahkan ketika ia keluar dari kontrakannya, dapat ia lihat embun-embun yang menempel pada dedaunan, sementara genangan-genangan air terisi penuh sampai katak ingin bertelur disana. Sepertinya tadi malam hujan, namun mungkin karena terlalu lelah dengan kehidupan yang ia jalani, pemuda itu lebih melampiaskan amarahnya didalam mimpi.

Hujan selalu membawanya pada keadaan yang asing, membuat ia menerka-nerka pada gerimis mana kenangan itu memeluk dirinya, membuat ia berpikir bahwa langit adalah tuhan yang memerintahkan awan untuk menurunkan gula pada Bumi yang menjadikan ia kopi. Seperti minuman yang menungguinya saat ini.

Namun pagi ini, kendati cuacanya buruk, hujan tidak lagi memberikan gerimis maupun hujan kepadanya. Hanya saja awan-awan gelap menyambang seperti burung elang mencari anak ayam yang terpisah dari induknya.

Pemuda itu memegang gelas kopinya dan seketika rasa panas menyentuh kulitnya, membuat ia hangat seketika. Namun pemuda itu tidak peduli, ketika hangat itu seperti manusia cantik yang dikutuk menjadi medusa oleh Hera, hangat itu menjelma panas dan membuat permukaan tangannya merasa terbakar. Namun ia hanya diam, kopi panasnya satu frekuensi dengan perutnya yang bergetar, ada namun tidak ia rasakan.

Ia bahkan tidak tahu apa yang ia pikirkan, namun matanya menatap lurus pada dedaunan mangga yang mulai menguning, atau mungkin sebenarnya tatapan itu menembus dedaunan itu sendiri dan menuju langit hitam dibelakangnya? Mungkin. Tidak pernah ada yang tahu, bahkan dirinya sendiri sampai lupa objek mana yang sedang ia pandang.

Namun sunggh kali ini perutnya kembali melilit, kopi yang ia sruput nyatanya hanyalah ilusi yang tidak dapat merubah apapun. Lapar itu bagaikan dehidrasi ditengah gurun sahara, sementara kopi itu, kopi itu adalah fatamorgana tiada berkesudahan. Ia lapar, namun bahkan tidak ia temukan apapun yang bisa dimakan didalam kosannya, mie yang seharusnya bisa mengganjal perutnya telah habis, beras apalagi, kini kosannya itu tidak hanya diisi dengan suara udara yang menggerakkan daun-daun, melainkan suara perutnya juga!

Jika ia pergi menyambang ke kos temannya yang lain, mungkin ia bisa makan dengan nyaman, ah tidak, dia tidak boleh begitu, jika ia saja dalam keadaan seperti ini, bagaimana dengan kawannya nanti? Ia tidak ingin menjadi benalu yang menempel pada pohon rambutan hanya untuk mendapatkan secercah sinar matahari dan nutrisi, ia bisa lebih baik daripada itu.

Gelas yang ia pegang gemetar karena perutnya memanas, ia lupa sudah berapa hari ia tidak makan karena ini akhir bulan, bahkan kiriman juga belum ada, dan ia tidak ingin memberatkan orangtuanya juga yang hanya adalah seorang buruh tani. Sebagai anak rantau, ia harus bisa memposisikan dirinya sendiri seperti apa, dan ia mengerti, lebih baik ia kelaparan setengah mati daripada menjadi pengemis, ia tidak ingin moralitas menjadi formalitas belaka, ia ingin bertahan dengan seperti ini, kendati ia harus mati.

Ketika ia meminum air kopinya untuk kesekian kali, tatapannya menatap tajam pada pohon mangga didepan kosannya, mangga yang keburu habis dicuri kelelawar dari Selatan yang tidak tahu diri, ia kemudian merutuki dan menghina bagaimana hujan menjatuhkan buah-buahnya berkali-kali sampai yang tersisa kini hanyalah dedaunan kuning yang mentertawakannya.

Perutnya kembali bergemuruh dan tangan kirinya menahan perutnya agar tidak terlalu sakit, namun tetap saja perut itu seolah memiliki lagu sendiri, ia tetap bernyanyi walau pemuda itu menekannya semakin kuat kian detiknya.

Merasa kalah, ia kemudian berbaring diatas tikarnya, dibenamkan wajahnya pada bantal apek yang baunya bahkan membuat ia berharap segera mati. Ketika perutnya berdering ia segera menggigit bantal itu dengan keras, berharap rasa laparnya menguap bersama dengan embun diluar sana. Namun lagi-lagi hal itu adalah ilusi yang ia ciptakan sendiri, rasa laparnya kembali bernyanyi, kini ditambah aliran musik harpa yang membuatnya semakin menyiksa. 

Ketika penderitaannya semakin menjadi-jadi, ia mendengar cicitan tikus di balkon rumahnya dan seketika matanya bercahaya. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mengambil tangga dan mulai mencari arah cicitan itu. Namun disana terlalu gelap sampai ia hanya bisa menerka-nerka, dan aroma urine yang menguar bukannya membuat ia jijik malah membuat ia tersenyum manis, menyeringai malah. Matanya dengan perlahan menganalisa ruangan itu dengan perlahan, hidungnya mengendus udara pengap yang ada dan menuntunnya pada sebuah sudut rumah, tepatnya pada kayu penyangga rumah disana.

Ia sangat berhati-hati ketika berjalan, berharap suaranya tidak didengar oleh hewan pengerat itu. Dan ketika tangannya meraih kayu penyangga itu lagi, tikus-tikus berhamburan seperti koruptor di TOT KPK, tangannya mencoba menangkap tikus-tikus raksasa itu namun ia tidak mampu, namun seringaiannya menjadi semakin melebar ketika terdengar suara cicitan dari bayi-bayi tikus yang sedang disana, bayi-bayi malang yang bahkan ditinggal oleh ibunya sendiri.

Dan tidak berpikir lama, tangannya mengambil bayi-bayi buta itu dan segera ia bawa turun, tidak didengar suara tikus-tikus lain, namun ia puas dengan buruannya kali ini. Mendapatkan empat ekor anak tikus untuk dimakan adalah suatu kebanggan untuknya yang saat ini kelaparan.

Dibawah ia segera berpikir keras bagaimana tikus ini enak untuk dimakan, apakah ia akan menggorengnya? Atau ia akan membakarnya? Pikiran-pikiran itu membuat ia lama untuk berpikir, sampai ia mengacuhkan suara cicitan tikus-tikus tersebut yang sebenarnya meminta untuk diberikan kesempatan untuk hidup.

Namun ia juga butuh hidup, tepatnya saat ini ia membutuhkan makan untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Tidak tega memang ia melakukan hal ini, namun katakan kepadaku, apa itu moralitas jika kau tidak memiliki apapun untuk dimakan, apa itu moralitas jika engkau selama ini tidak memiliki pilihan, bukankah banyak orang diluar sana yang berakhir menjadi pencuri karena tiada sandang, pangan, dan papan?

Maka ketika bayi-bayi itu masuk kedalam penggorengan, ia hanya bermuka datar, tidak peduli dengan jeritan bayi-bayi tikus pengerat itu yang berteriak memanggil-manggil ibunya. Dan bahkan ketika tikus-tikus malang itu masuk kedalam mulutnya, ia mengunyahnya dengan lahap, membiarkan organ-organ tikus itu terpecah belah dalam mulutnya yang terus mengunyah. 

Ia menelan bayi tikus itu dan segera daging hancur renyah itu meluncur kedalam lambungnya, menyatu bersama makanan-makanan yang telah dikonsumi sebelumnya. Namun bahkan didalam perut, lambungnya sendiri tidak peduli itu daging apa, sebab yang lambung itu pikirkan juga adalah bagaimana agar ia tetap hidup, memberikan nutrisi kepada organ lainnya.

Sebenarnya lelaki itu menyesali keputusan yang telah diambilnya, namun rasa lapar memang terkadang egois, membuat kita tiada berdaya pada hal-hal yang tidak kita inginkan. Dan kini, pemuda itu menggenggam erat kopi yang belum habis ia minum, kopi itu dingin, seperti tatapannya kepada pohon mangga yang daunnya telah menguning, tatapan kebencian  yang menguar karena tiada yang bisa ia lakukan dalam keadaannya sekarang. 

Dan dalam imajinasinya, pohon mangga itu sedang mentertawakan dirinya yang bodoh, mentertawakan kemisikinan yang tidak bisa ia entaskan. Padahal, ia memiliki otak dan nafsu, hal yang tidak dimiliki banyak makhluk di dunia ini. 

Tawa pohon mangga itu tidak terdengar, namun sebenarnya ia terbawa oleh angin selatan ke penjuru negeri, menertawakan sebuah negara lucu yang memiliki orang-orang cerdas, namun bahkan mengentaskan kemiskinan saja tidak mampu.

06 November 2021 



Posting Komentar untuk "Cerpen Humanis : Lapar Yang Membara"