Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ambulan Zig-Zag, Kasus-Kasus Permasalahan Orang Miskin Dengan Rumah Sakit di Indonesia

 Ambulan Zig-Zag, Kasus-Kasus Permasalahan Orang Miskin Dengan Rumah Sakit di Indonesia

Ambulan Zig-Zag, Kasus-Kasus Permasalahan Orang Miskin Dengan Rumah Sakit di Indonesia

Artikel ini saya tulis berdasarkan lagu Ambulan Zig-Zag yang dilantunkan seorang penyanyi tersohor di Indonesia, Iwan Fals. Lagu tersebut bertemakan sosial dan mengkritik bagaimana perlakuan rumah sakit terhadap dua orang pasien yang kaya dan miskin di Indonesia, yang dimana, yang kaya selalu di prioritaskan disaat sang miskin harus menahan sakit di ruang administrasi. 

Sangat ironi memang, namun selamat datang di Indonesia, dimana hukum dan keadilan susah untuk rakyat miskin dapatkan, bahkan bisa jadi keadilan tersebut telah dibeli dan dikorupsi pihak setempat. 

Naasnya adalah, negara kita dan masyarakat-masyarakat adalah manusia-manusia anti kritik dan mau benar sendiri, ketika kita melancarkan kritik atau melakukan laporan pada orang-orang yang memiliki uang, dengan mudah kita yang menjadi pelaku oleh UU ITE. Sementara itu, pelaku mungkin sedang mentertawai kebodohan kita yang melawan tanpa memiliki uang.

Saat saya menulis ini pun saya tidak memiliki uang kecuali 30.000 yang saya letakkan di lemari. Saya berharap bisa memiliki pekerjaan atau membuat lapangan pekerjaan, setidaknya memiliki uang membuat saya bisa menyumpal mulut orang lebih banyak, dan tentunya, membeli hukum.

Namun tentu saja alangkah baiknya kita melupakan hal tersebut dan fokus kepada inti permasalahan kita, saya akan mencoba lebih mendalami dalam kasus kemiskinan dan rumah sakit yang ada di Indonesia yang harus berhadapan dengan ‘oknum’ dokter yang tidak memiliki hati.

Kasus-Kasus Permasalahan Orang Miskin Dengan Rumah Sakit di Indonesia

Sebenarnya kasus-kasus penolakan pihak rumah sakit terhadap orang miskin bukan adalah hal yang asing untuk kita dengar, bahkan dalam jurnal yang berjudul Pelayanan Rumah Sakit bagi Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Enam Wilayah Indonesia) karya sekaligus wawancara Tri Rini Puji Lestari terhadap orang-orang miskin di Indonesia yang pernah memiliki hubungan dengan rumah sakit Indonesia menghasilkan hal yang buruk.

Tri Rini Puji Lestari menemukan kenyataan bahwasanya diskriminasi yang dilakukan pihak rumah sakit memang ada, misalnya selama di loket pendaftaran, responden menyatakan bahwasanya mereka memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan di rumah sakit pemerintah sebanyak 50%, sementara dalam rumah sakit swasta responden menyatakan pengalaman tidak menyenangkan sebanyak 47,1%. Data yang didapat juga menghasilkan pengalaman yang dipersulit sebanyak 27,3%, diperlakukan tidak adil atau dibedakan sebanyak 21,8%, dan pengalaman penolakan sejumlah 5,5%. Hasil wawancara Lestasi yang paling menohok terletak pada permasalahan saat di UGD, memang masyarakat sebagian besarnya tidak pernah mendapatkan penolakan sebesar 84%, namun terdapat 20,7% responden rumah sakit yang memiliki pengalaman ditolak masuk UGD, 21,4% terjadi karena pasien tidak mampu membayar uang muka, sementara 14,3% terjadi larena fasilitas pelayanan yang diperlukan tidak terdapat dirumah sakit tersebut.

Data ini berbeda dengan rumah sakit swasta,  akan tetapi besar atau tidak jumlahnya, yang perlu kita garis bawahi adalah diskriminasi terhadap rakyat miskin masih terjadi, dan bila tetap dibiarkan, maka pihak rumah sakit secara tidak langsung sedang menciptakan oknum-oknum yang bisa saja terus berkembang dan menjadi musuh masyarakat.

Kami memilih beberapa kasus terparah dari sekian kasus rumah sakit dengan masyarakat miskin yang pernah terjadi, apa yang akan anda baca mungkin akan mengguncang nurani anda, akan tetapi demi majunya Indonesia, kami akan paparkan pula.


Kakek Edi Dibuang Ambulans Dan Meninggal Dunia di RS

Kakek Edi tidak memiliki banyak uang semasa hidupnya, ia hanya seorang kakek tua yang kesehariannya kerap dimintai warga untuk membersihkan perkarangan rumah sekaligus membuang sampah, dan dari itulah kakek Edi mendapatkan upah untuk makan sehari-hari.

Lagipula di usianya yang telah renta, ia hampir tidak bisa melakukan apa-apa dan tentunya, tidak bisa membeli apa-apa. Pada suatu hari ia jatuh sakit namun naasnya ia malah diturunkan oleh ambulan, atau bahasa kasarnya ‘dibuang’pada sebuah gardu di Sukadanaham, Tanjungkarang Barat, Lampung. Ditanganya ditemukan bekas jarum infus yang dicabut karena mungkin, ketidakmampuannya dalam membayar rumah sakit nanti. 

Ketika ditemukan kakek tua itu dalam kondisi sekarat dan tidak bisa berbicara, akhirnya ia dibawa kerumah sakit dan meninggal disana. Dalam akhir hayatnya, bekas infus itu masih ada, bahkan di kakinya sendiri masih ada kain perban. Dan sayangnya, uang receh yang mungkin ada di kantongnya bahkan tidak mampu membuatnya membeli moral, hal yang selama ini hilang di negeri ini.


Bayi Dera dan Orangtuanya Yang Miskin 

Dera Nur Anggraini merupakan pasangan dari Eliyas Setyonugroho dengan Lisa Darawati yang sama sama berumur 20 tahun, Dera merupakan anak pertama, namun sayang, Dera lahir dalam keadaan prematur sehingga memiliki kelainan di kerongkongannya dan membuat sistem pernafasannya bermasalah. Hal ini mengharuskan Dera harus dimasukkan kedalam ingkubator, namun sayang, rumah sakit disana tidak memiliki alat yang memadai sehingga Dera harus dirujuk ke rumah sakit yang lain.

Namun disinilah letak permasalahannya, Eliyas hanya seorang ayah yang memiliki cinta, namun tidak memiliki harta. Usahanya untuk mencari rujukan ke rumah sakit lain seperti RSCM Fatmawati dan Rumah Sakit Harapan Kita, namun sayang, tidak ada satupun rumah sakit yang mau menerima Dera.

Karena tidak memikliki Kartu Jakarta Sehat (KJS) melainkan hanya membawa KTP dan KK, Eliyas harus berkorban menginap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, namun karena sudah malam, ayah malang itu tidak bisa berbuat apa-apa selain memutuskan menunggu di rumah sakit serta memilih tidur di parkiran rumah sakit.

Eliyas juga sebenarnya telah melakukan banyak usaha, ia sempat bolak balik dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain, RS Harapan Kita, RS Pasar Rebo, RS Harapan Bunda Pasar Rebo, kemudian RS Asri, RS Tria Dipa, RS Budi Asih, RS JMC dan yang terakhir, RS Pusat Pertamina. Namun sayang, semua usahanya hanya menghasilkan lelah, sebab semua rumah sakit tersebut menolak.

Disaat ayahnya berjuang, Dera juga melakukan perjuangan, namun sayang setelah sepekan melawan penyakitnya sendiri, Dera Nur Anggraini pada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Zahira, Jakarta Selatan. Meninggalkan kedua orangtuanya yang miskin dan tidak mampu membeli ruang inkubator dirumah sakit, meninggalkan dunia busuk ini dengan damai dan tanpa ada interverensi oknum dokter yang akan menjejalinya dengan surat-surat administrasi.


Supriono, Pemulung Miskin Yang Harus Membawa Jenazah Anaknya Menggunakan Gerobak 

Supriono bukan seorang konglomerat sukses maupun pejabat berdasi yang mengajukan negara harus membelikan mereka baju Luis Vuiton, ia hanya seorang pemulung miskin yang mencari nafkah dengan mengumpulkan kardus, gelas, dan botol plastik, tidak ada yang lebih.

Ia memiliki seorang putra bernama Muriski Saleh, dan seorang putri yang bernama Khaerunnisa. Pada suatu hari Khaerunnsia ternyata memiliki penyakit muntaber, akhirnya, ia membawa puterinya ke Puskesmas untuk pengobatan. Dan itu adalah terakhir kali ia membawanya, karena apa? Karena ia tidak memiliki uang cukup untuk melakukan pemeriksaan maupun membeli obat-obatan untuk kedua kalinya.

Karena terus menerus sakit tanpa ada penanganan yang khusus, kesehatan Khaerunnisa terus memburuk dan pada akhirnya perempuan itu meninggal dunia. Supriono yang miskin tidak bisa melakukan apa-apa, tujuannya saat ini adalah memakamkan perempuan kecilnya di Kampung Kramat, Bogor. Namun sayang, ayahnya yang miskin tidak memiliki uang yang cukup untuk membawa anaknya naik KRL, yang pada akhirnya membawa Supriono dan anak lelakinya, Muriski, harus membawa mayat Khaerunnisa menggunakan gerobak.

Di Stasiun Tebet juga pria malang itu dicegat dan dipaksa turun dari kereta kemudian dibawa ke kantor polisi. Hal itu karena almarhumah Khaerunnisa dicurigai merupakan korban kejahatan, dan sesampainya di kantor polisi terdekat, pria itu harus diperiksa polisi sementara jenazah anaknya dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk keperluan autopsi. 

Supriono pada akhirnya menjelaskan kepada pihak RSCM bahwa Khaerunisa telah menderita penyakit muntaber selama empat hari, dia pernah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. Dalam wawancaranya, Supriono mengatakan;

"Saya hanya sekali membawa Khaerunisa ke Puskesmas, saya tidak memiliki uang untuk membawanya lagi ke Puskesmas. Meski biaya Puskesmas hanya Rp 4000,- saya hanya pemulung kardus, gelas, dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp.10.000,- per hari" tutur pria malang yang memiliki dua anak dan sehari-hari tinggal di kolong perlintasan rel Kereta Api di Cikini tersebut.

Selama anak perempuannya terserang penyakit muntaber, Supriono dan Muriski selalu memulung kardus dari Manggarai hingga Salemba, mereka hanya bisa sesekali beristirahat di gerobak mereka. Hingga pada akhirnya imun Khaerunnisa tidak lagi mampu menahan penyakit dan membuatnya menghembuskan napas terakhir pada pukul 07.00 WIB, hari Minggu, 5 Juni, 2011.

Supriono bahkan harus ditolak pihak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena tidak memiliki biaya untuk menyewa ambulans untuk pergi ke Bogor, hal yang pada akhirnya membuat pria miskin itu memasukkan jenazah anaknya kedalam gerobak, membawanya pergi sembari menapaki dunia yang dipenuhi ironi.


Naila dan Antrean Nomer 115

Mengetahui anaknya memiliki penyakit sesak napas dan kian memburuk, Mustari dan Nursia panik bukan kepalang. Petani tersebut segera membawa anaknya yang berumur 2 bulan 10 hari tersebut untuk berobat. Namun karena keterbatasan biaya, Naila hanya diperiksa seorang bidan di dekat tinggal mereka pada  dusun Patommo, Desa Kaliang, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

Namun melihat kondisi bayi Naila, bidan tersebut meminta kedua suami istri tersebut membawa Naila ke Puskesmas Lampa yang terdapat di perkampungan mereka. Naila dibawa pada Rabu pagi ke Puskesmas tersebut, namun sungguh sayang, dokter hanya memeriksa tanpa memberikan sedikitpun pertolongan, hal yang dilakukan dokter tersebut hanya mengeluarkan surat rujukan ke Rumah Sakit Umum Lasinrang, Pinrang.

Mereka pun menuruti rujukan tersebut, dan dalam keadaan sekarat tanpa adanya bantuan tabung oksigen, Naila dibawa menggunakan mobil pribadi milik tetangga Mustari selama 30 menit menuju Rumah Sakit.

Kondisi Naila semakin memburuk, imunnya semakin tidak bisa menahan penyakit yang dideritanya, namun sayang, hal yang dilakukan pihak Rumah Sakit bukannya langsung mengurus Naila, oknum tersebut malah menyuruh Mustari ikut mengambil nomor antrian.

Mustari memohon sejadi-jadinya agar anaknya, Naila, diperiksa terlebih dahulu. Namun petugas loket bersikeras hal tersebut tidak bisa dilakukan, dan dia harus mengantre. Tidak memiliki banyak pilihan, Mustari mengambil antrean dan mendapatkan antrean nomer 115, kondisi Naila semakin menurun sementara yang baru diperiksa adalah antrean nomor 95.

Naila semakin sekarat dan Mustari segera menuju loket dan sekali lagi meminta diberikan prioritas, tapi bukannya diayomi, dirinya yang miskin itu malah ditanyai segala macam surat menyurat yang menerangkan bahwasanya Mustari berasal dari keluarga miskin.

"Ditanya kartu keluarga” ucap Mustari “tapi saya bilang di Lampa. Saya bilang pada mereka tolong dulu anak saya, kalau sudah nanti pasti saya ambil surat-surat itu. Tapi mereka menolak," terusnya.

Karena tidak mendapatkan pertolongan dari pihak rumah sakit, ditambah dengan berbagai persyaratan serta administrasi yang harus dipenuhi. Pada akhirnya Naila yang ada di pangkuan ibunya terbaring lemah dan menghembuskan napas terakhirnya. Meninggalkan kedua orangtuanya yang masih berkutat dengan surat menyurat dan persyaratan yang tidak kunjung selesai.

Mustari menghabiskan waktu dua jam untuk mengurus surat menyurat, setelah itu baru ada suster yang datang menolong. Namun sayang, Naila telah meninggal dunia terlebih dahulu. Oleh pihak rumah sakit, Mustari hanya diberikan jatah ambulans untuk membawa jenazah Naila pulang ke rumah untuk dimakamkan di peristirahatan terakhirnya.

Kala itu sirine ambulan berbunyi nyaring membelah jalan, Mustari dan Nursia yang hanyalah seorang petani tidak bisa melakukan apapun untuk mengembalikan anak mereka, oknum rumah sakit apalagi, padahal surat-menyurat dan administrasi yang mereka dewa-dewakan telah terpenuhi, namun sayang, nyawa Naila tidak bisa dikembalikan lagi.


Catatan Akhir:

Sebentar lagi tahun 2022 dan kita tidak benar-benar tahu bagaimana rumah sakit sekarang, masih adakah manusia yang mati karena administrasi? Atau masih ada kejadian parah seperti oknum rumah sakit yang membuang pasien? entahlah.

Pihak rumah sakit tentu tidak mau disalahkan, nama mereka ingin disucikan dan tidak ingin dicemar oleh apapun. Itulah sebagai penghormatan, saya pribadi menulis mereka sebagai ‘oknum’, oknum yang sampai sekarang tidak diketahui jumlahnya dengan pasti.

Artikel ini hanya sebagai pengingat bahwa kepedulian semakin lama semakin mati, dan mungkin Iwan Fals benar, dalam satu liriknya, ia menyinggung tentang masyarakat seperti kita; Jangan bicara soal idealisme, mari bicara tentang berapa uang di kantong kita atau kita yang lupa berapa dahsyat ancaman yang terpaksa membuat kita onani.

Sebab mungkin yang paling baik untuk sekarang adalah peduli dengan diri kita sendiri, seberapa lantang pun kita berkoar, kita hanya akan cari mati sendiri. Dari dulu siapapun yang terlalu lantang bersuara, terlalu berani, dibungkam dan dibunuh. Sekarang mereka memiliki Undang-Undang sendiri, dan bagaimana mungkin kita yang kecil mampu menghunuskan pedang?

Namun jika pada akhirnya mati adalah akhir, terbunuh adalah bab paling akhir kehidupan dari suatu perlawanan, mungkin memang harus begitu. Mari kita lawan ketidakadilan dan kemungkaran, sampai kita menjadi debu.


Baca Juga : Percuma Lapor Polisi dan Polisi Yang Semakin Sadar Diri

Baca Juga : Ade Londok, Diangkat Netizen dan Dijatuhkan Oleh Netizen


Posting Komentar untuk " Ambulan Zig-Zag, Kasus-Kasus Permasalahan Orang Miskin Dengan Rumah Sakit di Indonesia"