Kebebasan Beragama di Indonesia
Kebebasan Beragama di Indonesia
Toleransi adalah istilah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kata ini bahkan sudah inheren dalam jiwa bangsa Indonesia karena jauh sebelum berdirinya negara ini, kata itu sudah menjadi kearifan dan cara hidup masyarakat Nusantara. Sebagaimana kita tahu Nusantara adalah bangsa yang majemuk yang di perlihatkan dari banyaknya agama, ras, dan suku. Indonesia kemudian dikenal dengan sebutan “Mega cultural diversity” Karena di Indonesia terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 jenis ragam bahasa yang beragam.
Di Indonesia, istilah toleransi sering dipandankan dengan “kerukunan”. Pemakaian istilah ini bahkan lebih masif, tidak hanya oleh masyarakat saja tetapi oleh pemerintah. misalnya beberapa tahun lalu ada rancangan undang-undang kerukunan umat beragama (RUU-KUB), juga di beberapa daerah didirikan forum kerukunan umat beragama (FKUB). Bahkan dalam berbagai sambutan resmi, para pejabat negara sering menggunakan istilah kerukunan ketimbang toleransi. Namun kedua istilah ini tidak perlu di perdebatkan, karena baik secara empirik maupun secara teoritik, keduanya bisa di padankan dalam artian yang sama.
Dalam perkembangannya kebebasan beragama tidak hanya menjadi kenyataan sosial namun juga menjadi diskursus politik dan hukum. Telah banyak regulasi yang lahir terkait pengaturan toleransi beragama di Indonesia. Seperti halnya ada regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadah, bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan, masalah penyiaran agama, hal perayaan agama dalam hari-hari besar, regulasi menyangkut aliran-aliran keagamaan hingga masalah perkawinan.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya upaya-upaya politik yang terencana dan terarah terutama dalam negara untuk mengelola toleransi dalam beragama di Indonesia sesuai dengan tujuan dan visi pemerintah. Pada era orde baru misalnya, tujuan dari lahirnya sederet regulasi tersebut adalah untuk mendirikan stabilitas sosial dan politik untuk mendukung program pembangunan.
Dalam musyawarah antaragama pada 30 November 1967, presiden Soeharto menyampaikan: “Secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus mengakui bahwa musyawarah antar agama ini justru diadakan oleh karena timbul gejala di berbagai daerah yang mengarah pada pertentangan- pertentangan agama. . . . sebab jikalau masalah tersebut tidak di pecahkan secara tepat, maka masalah tersebut akan menjalar ke mana-mana, yang dapat menjadi masalah nasional. bahkan mungkin, bukan sekedar masalah nasional, tapi menjadi bencana nasional!”
Pernyataan ini menyiratkan adanya penilaian pemerintah Soeharto terhadap situasi kehidapan beragama serta adanya visi untuk menghindari masalah yang lebih besar. penilaian dan visi inilah yang membuat munculnya berbagai aturan yang telah di sebutkan di muka. Artinya aturan tersebut tidak sekedar muncul melainkan adanya pengaruh atau keterkaitan antara masa pemerintahan orde baru untuk menciptakan kestabilitasan seta mengelolah hubungan antar agama, dan hal itu berhasil meminimalisir terjadinya konflik antar agama yang terjadi di muka umum pada saat ini.
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang: apakah dengan adanya kebebasan beragama ini tidak menimbulkan sebuah masalah? Buku (BUKAN) HITAM PUTIH KONFLIK AGAMA: ANALISIS SITUASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN 2017 karya TediKholiludin, Ceprudin, Firdos telah membahas tuntas tentang masalah yang timbul akibat ke bebasan beragama salah satunya seperti penolakan pembangunan rumah ibadah hal tersebut di bahas tuntas pada hal 61.
Sedangkan menurut Febri Handayani, SHI, MH dalam karyanya yang berjudul KONSEP KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UUD TAHUN 1945 SERTA KAITANNYA DENGAN HAM. kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 terutama pasal 28E, 28I, dan 29. Pembatasan terhadap kebebasanitu hanya dapat dilakukan melalui UU sebagaimana ditur dalam Pasal 28J UUD 1945 tersebut. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa:
“(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan
(2)Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. ”
Tetapi Undang-Undang yang sama juga mengatur adanya kewajiban dasar manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 1, 67, 68, 69 dan 70 UU tersebut. Tentang pembatasan hak dan kebebasan hanya dapat dilakukan oleh UU sebagaimana diatur Pasal 73 UU tersebut. Demikian pula kebebasan beragama dijamin oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU ini, disebutkan sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dankebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Jadi kebebasan beragama bila dikaitkan dengan HAM, dapat dilihat terhadap hak beragama yang dimilki oleh setiap warga negara Indonesia yang dinyatakan sebagai bagian dari hak asasi sebagaimana diatur dalam pasal 4 dan pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Daftar Pustaka :
KONSEP KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UUD TAHUN 1945 SERTA KAITANNYA DENGAN HAM Oleh: Febri Handayani, SHI, MH.
(BUKAN) HITAM PUTIH KONFLIK AGAMA: ANALISIS SITUASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN 2017 oleh: Tedi Kholiludin, Ceprudin, Firdos
Karya : Iskandar Salamin, Mahasiswa Prodi PGMI Semester I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Mataram
Posting Komentar untuk "Kebebasan Beragama di Indonesia"