Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kopi Dan Rasa Yang Telah Pergi

Kopi Dan Rasa Yang Telah Pergi

Kopi Dan Rasa Yang Telah Pergi


Aku bahkan telah lupa telah berapa malam aku tidak lagi menengguk secangkir kopi yang aku buat sendiri, maka hari ini, Selasa, 5 Oktober 2021. Aku membuat kopi kembali selepas memanaskan air melalui teko yang baru saja berhenti mendidih.

Banyak malam berganti namun perasaan ini tetaplah sama, ia seperti mati rasa, seperti ada yang mengganjal namun aku tidak tahu apa. Aku terkadang merasakan gamang yang tiada terkira, rasanya seperti sebuah belati yang kau telan secara tidak sengaja, namun alih-alih menuju lambung, belati itu malah menembus usus dan malah menusuk jantung, membuatnya tidak lagi berdetak.

Saat ini, itu juga yang aku rasakan, aku merasakan bahwa hati yang sedang kuemban ini sudah rusak, bukan bentuknya, namun jiwanya. Ia masih berdetak secara wujud, namun secara bathin, ia tidak pernah tahu sedang berdetak kepada siapa.

Hal ini mungkin saja membuatnya lelah, atau mungkin aku yang terlalu memaksa ia untuk bertahan dari segala permasalahan yang terjadi, aku kerapkali berbohong kepada diriku bahwa diriku kuat dan mampu menahan segalanya, namun nyatanya, aku tidak mampu, aku tiada lain tiada bukan adalah seekor kumbang yang mencari tahi untuk digumpal dan dibawa menuju sarangnya, atau mungkin sebenarnya aku bukanlah kumbang itu, aku adalah tahinya. Dan kumbang itu adalah kehidupanku yang hitam dan penuh dengan kekotoran.

Malam ini juga aku mulai menerima semuanya, namun aku sendiri juga bingung apa yang sebenarnya aku terima, aku terkadang jujur kepada diriku sendiri, kendati apa yang tampak memang tidak seperti itu. Hal itu pulalah pada malam ini aku membuat kopi kembali, namun kini kopinya lebih banyak, gulanya lebih sedikit. Hidup telah mengajarkanku bahwasanya kenyataan akan menamparmu lebih banyak daripada sekedar ekspektasi.

Aku hidup penuh dengan kebimbangan, mengatakan kepada diriku sendiri bahwa kamu kuat, kamu hebat, namun apa aku sekuat itu? Apa aku sehebat itu? Aku tidak tahu. Ujung-ujungnya aku malah mempertanyakan apa itu kuat dan hebat, ujung-ujungnya aku malah mempertanyakan siapa aku sebenarnya, dan mungkin karena terlalu banyak kepura-puraan, aku jadi bingung sebenarnya aku ini siapa. Berharap menjadi seorang ksatria namun kenyataannya selama ini aku adalah badut yang hanya bisa membuat orang tertawa.

Pernah gak sih kamu buat diri kamu tertawa? Tertawa begitu keras, begitu lepas. Aku lupa. Aku lupa tawaku yang sebenarnya seperti apa, aku lupa bahagiaku yang sebenarnya seperti apa, aku lupa tangisanku seperti apa, aku lupa diriku sebenarnya siapa.

Hal ini jugalah yang pada akhirnya membuat aku mempertanyakan tentang hidup yang aku jalani, pantas atau tidaknya aku hidup, pantas atau tidaknya sebenarnya aku berada pada tubuh ini.

Terkadang aku berharap bahwa ruhku dengan mudah tercerabut dari pangkalnya, bukankah itu mudah? Tuhan hanya perlu menyuruh malaikat mautnya menarik paksa nyawaku dari pangkalnya, lalu ruh itu akan menuju ke angkasa, ke tempat yang semestinya. Nantilah kita berbicara tentang surga dan neraka, aku tidak pantas di keduanya, mungkin Tuhan tidak akan pernah sudi menghukum manusia berkelakuan anjing sepertiku. Menganggap diri suci namun selama ini faktanya diriku begitu nakjis, hatiku, seluruh hidupku.

Kadang kehidupanku sangat teramat gamang, pengen masuk jurang dan hidup disana selama-lamanya tanpa ada lagi orang yang peduli. toh, siapa juga yang akan peduli dengan orang kayak aku? Nabi Muhammad mungkin pengecualian karena dia terlalu mulia, namun pada akhirnya, apa nabi Muhammad juga akan menganggap aku umatnya? Aku yang lemah, mempertanyakan Tuhan, menganggap diri selalu benar, selalu mengeluh dengan keadaan, bahkan nggak tahu harus pulang kemana.

Kayaknya satu-satunya tempat aku pulang adalah kuburan deh, tanah nggak peduli kita kaya atau nggak, punya lamborghini atau nggak, ganteng atau nggak, yang ada kita tinggal masuk, terus…ya begitu, imajinasiku cuma sampe sana.

Hadeuh, aku udah nggak tahu mau nulis apa, tapi makasih udah mau baca blog nggak jelas ini, aku cuma mau cerita aja, kalian mau tukar perasaan di komentar, mau sumpahin aku mati dan cepet-cepet bunuh diri, silahkan aja. Aku juga capek soalnya, padahal aku nggak tahu aku capek karena apa.

Kata temenku aku harus ke psikiater, tapi aku lagi nggak ada biaya, btw kita ke psikiater ngapain ya? Dalam film-film aku akan disuruh duduk, kasih agenda tentang apa yang aku tulis, aku akan kasih agenda yang ada tulisan “Kuharap kematianku menciptakan lebih banyak uang daripada kehidupanku”.

Terus diajak stand up dan aku malah ketawa, masuk televisi, dan menembak kepala presenternya. Diluar sana orang-orang Chaos, mengelu-elukan aku. Dahlah, kenapa laiknya film badut itu.

Aku juga nggak tahu kenapa aku nulis artikel ini, tapi perasaanku lebih baik kendati sebenarnya masih gamang. Ketika aku menulis ini, masjid mulai memanggil untuk bersiap-siap sholat, kopi yang aku seduh tadi sudah mendingin, hanya tersisa sedikit panas yang membuat ia terasa hangat di tenggorokan.

Aku segera meminum kopinya, menengguknya sampai yang tersisa hanya ampasnya. Ampasnya bahkan ada yang menempel pada dinding gelas dan membuat bercak seperti lembah-lembah. Namun semakin lama aku tatap gelas itu, aku semakin menyadari bahwasanya kehidupanku layaknya seperti kopi itu, rasanya tidak ada bedanya dengan kopi itu.

Semua permasalahan, kegamangan yang aku miliki sebenarnya telah sirna, hanya saja tinggal ampasnya. Namun mungkin, kita terlalu jijik untuk menelan ampas itu, sama seperti jijiknya aku dan kamu untuk menerima siapa diri kita sebenarnya.

Apa aku ksatria, atau hanya seorang badut? Aku tidak peduli lagi.

Sebab kini aku menyadari bahwa manusia maupun manusia tiada lain tiada bukan adalah ampas kopi, ia hanya menetap sebelum air akan membasuhnya pergi.


Baca Juga    : Sebuah Cerita Tentang Tuhan Yang Egois

Baca Juga    : Untuk Kamu Yang Lelah, Tapi Tidak Menyerah

Posting Komentar untuk "Kopi Dan Rasa Yang Telah Pergi"