Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jalan-Jalan dan Pulang

 Jalan-Jalan dan Pulang


Pagi-pagi sebenarnya aku sudah bangun dan mandi, kemudian dengan segera aku membaluti tubuhku dengan handuk, menggunakan pakaian, dan tentunya sholat shubuh.

Pagi di desa Pengkores selalu diawali dengan angin Timur yang dingin, angin ini bisa saja menjadi pelaku atas hilangnya manusia-manusia di pagi hari yang seharusnya beraktifitas, akan tetapi dingin kali ini bisa kutepis karena aku menggunakan jaket.

Hari Minggu adalah hari libur untuk sebagian orang, dan untuk sebagian lain tiada ubahnya adalah hari yang sama, atau bisa jadi adalah momentum yang indah untuk memulai sesuatu. Pagi di desa ini seperti yang kulihat tadi adalah manusia-manusia yang menggunakan kendaraan untuk pergi bekerja, mereka ke pasar untuk menafkahi keluarga mereka, sementara aku dan sebagian besar manusia di Bumi ini masih bergelut dengan perasaan yang masih kacau balau.

Dan sekali lagi, aku salah, aku salah dalam memaknai wanita, salah dalam banyak hal sebenarnya, dan memblokir sahabat yang paling dekat denganku adalah suatu kesalahan fatal.

Aku tidak pernah mengira hal tersebut yang akan terjadi, saat aku telponan terakhir kali dia mengatakan bahwasanya aku bukan siapa-siapa, jadi seharusnya bila aku pergi…bukankah itu bukan suatu masalah? Seharusnya dia tidak mencariku, seharusnya dia pergi kepada lelaki yang masih ia tunggu. Sebenarnya ada apa?

Rasa bersalah ini kemudian membersamaiku ketika aku menapakkan kaki di Bumi, berjalan diatas trotoar dengan kendaraan yang tiada ubahnya sebagai kenangan yang berlalu lalang. Cahaya-cahaya itu melaluiku, seperti perasaan yang selama ini membersamaiku.

Kendati kekosongan ini memelukku dalam diam, sunyi dan senyap mencengkramku begitu kuat. Manusia-manusia hidup dan keluar dari rumah mereka, namun aku mati, dengan segala perasaan ini, aku semakin mati.

Kupikir aku benar, ternyata aku salah, dan apa yang akan kulakukan nanti juga bisa jadi seterusnya salah. Aku pengen banget lompat dari tempat-tempat paling tinggi di Bumi, membiarkan diriku dipeluk kebebasan antara hidup dan mati. Aku ingin rasakan momen dimana hanya aku dan aku, tanpa sedikitpun intervensi dari alam semesta pun manusia.

Rasa bersalah ini menghantuiku, membuatku redam dan rusak, jatuh dan remuk, hancur dan berserakan. Akan kemana aku membawa pecahan hati ini? Hati yang sudah tidak utuh lagi, disana sini penuh lubang dan karat. Harus kemana lagi? Harus sejauh apa lagi? Harus sampai kapan lagi? Aku lelah, pengen pulang, tapi nggak tahu harus pulang kemana. Pengen lari, tapi nggak tahu harus lari kemana. Satu-satunya cara, ya aku harus bangkit untuk melawan, menerima apapun dengan segala resiko yang ada.

Manusia-manusia telah bangun, kini mereka pula melewatiku, dan aku melewati beberapa dari mereka. Mereka beragam, ada yang lari dengan kawanannya, ada yang lari dengan kekasihnya, dan sementara aku, aku menggunakan sarung hijau, mengenakan jaket hoodie untuk menutupi kepalaku, dan aku berjalan dalam kesendirian.

Bukankah banyak hal di dunia ini yang bisa menjatuhkan umat manusia? Namun tidak pernah kutahu bahwa hal ini juga membuatku merasa jatuh, aku merasa rumah-rumah yang kutinggali hancur lebur karena diriku sendiri, akankah aku selamanya menjadi pengembara? Tinggal di jalanan dan berharap menemukan gua yang gelap untuk aku menetap.

Aku jalan-jalan dan hanya menemukan kehampaan, merasakan lebih banyak udara segar akan tetapi oksigen itu tidak dapat mengjangkau hatiku. Ia tetap diam, hitam, dan membeku. Sampai kapan? Aku tidak tahu.

Pulangnya, aku menendang api yang menyala disamping jalan. Tidak terbakar, namun aku merasakan bahwa kehangatan itu sanggup menghalau dingin untuk sejenak. Apakah aku, apakah aku sama seperti api itu? Apakah aku sama juga seperti matahari? Ketika mereka menjaga jarak, mereka hangat, namun ketika mereka dekat, mereka terbakar.

Dan apa selamanya aku dapat membakarmu jika kau terus dekat denganku? Menghancurkanmu, membuatmu yang hidup menjadi tandus, membuatmu yang indah menjadi tidak bermakna. Apakah, apakah itu akan terjadi untuk selamanya?

Jiwaku dan jiwamu pasti cedera, merasakan bahwa diri kita adalah sumber masalahnya. Dan mungkin esok aku tidak akan lagi melihat senyummu karena egoku telah membakarmu terlebih dahulu. Aku ingin engkau dan aku berdamai, sejenak, jika aku memang matahari, biarkan aku menjagamu tanpa harus memeluk, biarkan aku menjadi sumber hangatmu tanpa harus membuatmu terbakar.

Aku menyeduh kopi, meminumnya cepat selagi dia hangat. Aku tidak ingin dia mendingin terlebih dahulu, sebab cukup pagi ini aku dipeluk dingin, cukup hatiku menghitam dan membeku dalam diam, cukup. Aku ingin pulang walau tidak tahu harus pulang kemana, aku ingin ada tanpa harus membakar manusia lainnya.

Aku ingin hidup.

Aku ingin hidup dengan semestinya, walau aku tidak pernah tahu hidup yang semestinya itu seperti apa, aku pengen pulang, walau aku juga nggak tahu rumah yang membuatku tenang dan nyaman itu seperti apa.

Kopi itu tandas kuminum, kini hanya meninggalkan ampas. Namun luka dalam jiwa dan bathinku belum sirna, apinya belum terbasuh dengan baik dan benar, jadi rasanya kopi itu hanya pengalih dari rasa hampa, dan kini, hampa itu lagi kembali memelukku.

Suatu saat nanti, aku berharap diriku dapat menjadi pengembara, melangkahkan kakiku di dunia sebagai seorang musafir, aku berharap tidak akan lagi untuk tinggal, melainkan hanya untuk singgah. Semoga dengan begitu manusia-manusia yang kutemui hanya akan menyuguhkan aku kopi, dan bukan hati.

10 Oktober 2021

Jalan-Jalan dan Pulang
Atau mungkin aku sebenarnya memiliki tempat untuk pulang, tapi aku nggak pernah sadari hal itu

Baca Juga    : Sebenarnya Kamu Siapa?

Posting Komentar untuk " Jalan-Jalan dan Pulang"