Apa Itu Al-Mahabbah? Definisi Mahabbah Menurut Para Ahli Serta Kaitannya Dengan Kehidupan
Apa Itu Al-Mahabbah? Definisi Mahabbah Menurut Para Ahli Serta Kaitannya Dengan Kehidupan
![]() |
Al-Mahabbah is Love (Ylanite Kloppens, Pixabay) |
Pengertian Al-Mahabbah
1. Secara Etimologis
Mahabbah berasal dari kata
ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai
secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah
adalah lawan dari al-baghd, yakni benci, lawan dari cinta. Al-mahabbah
dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang[1].
Sementara dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Mahabbah ialah perasaan kasih sayang; lupa akan kepentingan
diri sendiri karena mendahulukan cintanya kepada Allah Swt[2].
Sementara cinta menurut KBBI
adalah suka sekali, sayang benar, ingin sekali, berharap sekali, rindi, susah
hati (khawatir), dan risau[3].
Dari hal ini, kita bisa menyimpulkan
bahwa pada hakikatnya, mahabbah adalah kasih sayang, mencintai dengan
mendalam yang disertai dengan harapan karena kerinduan terhadap Allah Swt.
Sementara itu, tokoh-tokoh umat
muslim ataupun para ulama adalah seorang mahabbah yang hakiki, hal ini dibuktikan
dengan bagaimana mereka berperilaku dan cara mereka mengabdikan diri kepada Allah
Swt. melalui ibadah mereka.
Ada perbedaan pendapat mengenai
definisi mahabbah menurut para ahli. Pendapat-pendapat tersebut antara
lain seperti yang dikemukakan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah melalui bukunya yang
berjudul Taman Orang-Orang Yang Jatuh Cinta, mahabbah berasal dari al-habab
yang berarti air yang meluap ketika hujan deras turun. Sehingga, mahabbah
adalah luapan hati ketika pecinta merindukan kekasih[4].
Ibnu Qayyim juga menukilkan
pendapat bahwa Al-Mahabbah berasal dari kata ‘Hubb’ yang berarti bejana besar
yang digunakan untuk memuat berbagai macam benda sampai penuh sehingga tidak
ada ruang lagi untuk menempatkan benda lain.
Maka begitupula dengan mahabbah, seorang pecinta tidak akan
menyisakan ruang bagi orang lain[5].
Pendapat lain seperti yang dikemukakan
Imam Al-Ghazali, Cinta adalah buah pengetahuan. Pengetahuan kepada Allah akan
melahirkan cinta kepada-Nya. Sebab, cinta tidak akan ada tanpa pengetahuan
serta pemahaman , karena seorang tidak mungkin jatuh cinta kecuali pada sesuatu
yang telah dikenalnya. Dan tidak ada sesuatu yang layak dicintai selain Allah[6].
Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.
923 M) mengatakan, ayat-ayat yang tersebar di dalam al-Qur‟an itu meliputi
keterangan tentang tauhid, kenabian dan ajakan kepada Allah swt. al-Qur‟an
dalam menyebut kata “al-Hubb” (cinta) acapkali dikaitkan dengan cinta Allah
kepada manusia dan sebaliknya.
![]() |
Jalaludin Rumi (Image By Google) |
2. Secara Terminologis
Kebanyakan kaum sufi berpendapat
bahwa cinta tidak akan pernah bisa didefinisikan, hal itu dikarenakan semakin ia
didefinisikan, maka ia akan semakin kabur. Definisi cinta adalah wujud itu
sendiri karena pada kenyataannya, definisi hanyalah diperuntukkan untuk ilmu,
sementara cinta adalah keadaan dimana seseorang memiliki perasaan berlebih
terhadap kekasih dan mengakar kedalam lubuk hatinya. Namun kendati demikian,
para kaum sufi juga menguraikan makna cinta dengan segala keterbatasannya.
Dalam pendapatnya, Imam Qusyairi
mengatakan bahwa cinta tidak dapat dilukiskan dengan suatu gambaran dan tidak
bisa dibatasi dengan suatu penjelasan melainkan dengan kehadiran cinta itu sendiri[7].
Menurut Ibnu Hazm yang dikutip
oleh Khalid Jamal bahwa cinta adalah ungkapan perasaan jiwa, ekspresi hati dan
gejolak naluri yang menggelayuti hati seseorang terhadap yang dicintainya. Ia
terlahir dengan penuh semangat, kasih-sayang dan kegembiraan.
Selanjutnya, Imam Ibnu Hazm juga
mengatakan bahwa “Manusia selalu berbeda pendapat tentang hakikat cinta, dimana
mereka berdiskusi panjang lebar mengenai hal itu”. Akan tetapi kami lebih
memilih pendapat yang mengatakan , bahwa cinta itu adalah hubungan diantara
sendi-sendi jiwa yang telah terbagi, terpecah pecah di kosmos ini dari keaslian
unsurnya yang agung[8].
Menurut Jalaluddin Rumi , Mahabbah
yaitu Universal Love atau cinta yang universal, di mana cinta tidak hanya
dimiliki manusia saja, tetapi juga dimiliki oleh seluruh makhluk. Selebihnya,
ia mengatakan bahwa cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang
tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi
pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa
perubahan-perubahan bagi siang dan malam.
Sementara Al-Mahabbah
dalam konsep Rabi’ah al-Adawiyah memiliki dua fokus penting. Pertama, adalah
kesediaan sang pecinta untuk selalu mengingat-Nya. Kedua, kesediaan Tuhan untuk
membuka rahasia-Nya bagi yang mencintai-Nya. Menurutnya juga jika kedua konsep
cinta itu direlevansikan dengan keadaan sekarang maka akan dapat menjadi solusi
berbagai permasalahan kehidupan.
Kaitan Al-Mahabbah Dengan Kehidupan
![]() |
Petani Sedang Bekerja (Aamir Mohd/Pixabay) |
Kaitan Al-Mahabbah dapat
kita temukan dimana-mana, sebab sejatinya perlakuan kita sehari-hari adalah wujud
nyata dari adanya cinta. Secara sederhana, kita tentunya sering menemukan orang
bekerja setiap hari untuk mencari nafkah demi anaknya dan ridha Allah Swt.
Mahabbah sendiri adalah hakikat
dari cinta sebab ia tidak lagi berkisar kepada hamba dengan hamba melainkan
dengan Allah Swt. apapun bisa dikaitkan dengan mahabbah jika ia
berhubungan kepada Allah Swt.
Seperti yang tertulis didalam Al-Quran
surah Adz-Dzariyat ayat 56 yang berarti[9]
“Dan Aku (Allah) tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.” Kita diciptakan untuk menjadi hamba Allah Swt. dan sudah
semestinya kita mengabdikan diri kepada-Nya.
Namun dengan cintanya, Allah
tidak menciptakan manusia menjadi budak yang tidak memiliki pilihan seperti
malaikat. Manusia berbeda, manusia diciptakan untuk mampu memilah dan memilih
antara mana yang baik dan tidak. Manusia diberikan kemampuan untuk memilih dengan
apa dan bagaimana manusia menunjukkan cintanya kepada Allah Swt.
Jika kita meruntut secara historis,
Allah jatuh cinta pertama kali kepada manusia semenjak rencana penciptaan Adam.
Seperti yang tertulis dalam surah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi[10]
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.”
Hal inilah yang mendasari adanya manusia,
atas dasar cinta Allah terhadap manusia. Pun begitu, nabi Adam, ketika diusir
dari surga karena memakan buah khuldi bersama Siti Hawa, ridha untuk diturunkan
ke bumi karena ia mencintai Allah Swt. ia tidak melawan seperti setan,
melainkan terus melakukan ibadah di Bumi dan mengajarkan kebaikan kepada keturunannya.
Dan kita, sebagai keturunan nabi
Adam sudah semestinya harus menerapkan Al-Mahabbah didalam jiwa kita karena
hakikatnya, kita diciptakan dengan cinta, dan kita harus mengimplementasikan
cinta tersebut di kehidupan.
Apapun kegiatan dan aktivitas
baik yang kita miliki akan tetap bernilai Mahabbah jika kita melakukannya
untuk mendapatkan ridha-Nya. Dan tentunya, kita tidak bisa mendapatkan ridha-Nya
dengan cara yang tidak baik. Sama seperti Iblis yang pada akhirnya cemburu
karena Adam lebih mulia darinya sehingga ia menjadi musuh abadi umat manusia
sampai hari kiamat.
Kesimpulan:
Mahabbah berasal dari kata
ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara
mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah
lawan dari al-baghd, yakni benci, lawan dari cinta. Al-mahabbah dapat
pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Walau terdapat perbedaan pendapat
para ahli, namun banyak kaum sufi yang sepakat bahwa Al-Mahabbah tidak bisa didefinisikan
karena ia adalah wujud perasaan yang hanya bisa diperlihatkan dengan tindakan.
Pendefinisian hanya akan menyebabkan makna Al-Mahabbah itu sendiri menjadi
kabur.
Al-Mahabbah sejatinya
adalah wujud cinta manusia kepada Allah Swt. dan bisa diperlihatkan dengan cara
kita berperilaku di Bumi sebagai seorang khalifah sekaligus hamba-Nya. Namun tentu
saja perilaku kita haruslah baik dan tidak melakukan kebaikan melalui jalur
kejahatan sebab hasilnya pasti akan beda.
Referensi:
[1] Badrudin, Pengantar
Ilmu Tasawuf, Serang-A-Empat 2015 Hal.64
[4] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,
Raudhatul Muhibbin: Taman Orang-Orang Yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu,
Penerjemah Fuad Syaifuddin Nur (Jakarta: Qisthi Press, 2011) h.26.
[5] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,
Raudhatul Muhibbin: Taman Orang-Orang Yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu,
Penerjemah Fuad Syaifuddin Nur (Jakarta: Qisthi Press, 2011) h.26.
[6] Ahmad Zaini, “Pemikiran
Tasawuf Imam al-Ghazali”, Op. Cit., hlm. 155
[7] Zaprulkhan, Ilmu
Tasawuf : Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,
2016), hal. 55
[8] Nabil Hamid Al Ma‟az,
Cinta Halal apa Haram ?, (Rembang: Pustaka Anisah, 2005), hal
[9] https://sumeks.co/surat-az-zariyat-ayat-56/#:~:text=SUMEKS.CO%20%E2%80%93%20%D9%88%D9%8E%D9%85%D9%8E%D8%A7%20%D8%AE%D9%8E%D9%84%D9%8E%D9%82%D9%92%D8%AA%D9%8F%20%D8%A7%D9%84%D9%92%D8%AC%D9%90%D9%86%D9%8E%D9%91,mereka%20mengabdi%20kepada%2DKu).
[10] https://republika.co.id/berita/ppmvl9458/tiga-tugas-manusia
Posting Komentar untuk "Apa Itu Al-Mahabbah? Definisi Mahabbah Menurut Para Ahli Serta Kaitannya Dengan Kehidupan"