Monkey Donkey
Monkey Donkey
Sebuah penelitian pernah
dilakukan pada beberapa ekor monyet pada suatu kebun binatang dengan mengandalkan
sebuah pisang yang digantung untuk memancing monyet-monyet itu untuk datang. Dan
tentunya karena ada makanan dihadapan mereka, monyet itu kegirangan dan mendekati
pisang tersebut. Namun sayang, ketika mereka ingin mengambil pisang tersebut,
ia segera dihujani oleh semprotan air yang disediakan pihak peneliti. Membuat monyet-monyet
itu kepayahan.
![]() |
Source: Pixabay |
Namun tentunya monyet-monyet itu
tidak mau kalah, ia segera kembali mendekati buah pisang yang digantung namun
tetap saja para peneliti lebih sigap untuk menembakkan air kepada kawanan
monyet tersebut dan membuat monyet-monyet itu lari tunggang langgang. Dan bahkan
tidak hanya itu, kawanan monyet yang tidak mendekati pisang tersebut pun kena siram.
Hal itu terus dilakukan oleh
peneliti-peneliti tersebut dan terkadang monyet itu tetap keras kepala untuk mencoba
mengambil pisang yang digantung tersebut, namun karena sang monyet selalu
kalah, makhluk-makhluk mamalia tersebut pada akhirnya menyerah dan bersikap
apatis apabila ada pisang yang digantung pada tempat yang sama.
Hari demi hari berlalu dan pisang
tersebut tetap disana namun tetap tidak ada monyet yang mau menyentuhnya, dan
kerapkali ketika ada monyet yang mau menyentuhnya maka mereka yang telah kena
semprot memarahi monyet tersebut.
Lalu para peneliti mencoba
memasukkan monyet baru, dan monyet yang baru ini ketika melihat pisang tentunya
sangat bahagia karena menganggap bahwa dirinya sedang diberi makan. Melihat tidak
ada yang mendekati pisang tersebut monyet ini tidak menaruh rasa curiga, dan
akhirnya ia segera mendekati pisang tersebut.
Namun seketika keadaan berubah
sebab monyet-monyet lain mulai meneriaki monyet tersebut, bahkan bukan hanya
meneriaki namun monyet tersebut juga menarik kakinya agar tidak mendekati
pisang tersebut. Tentunya mereka juga tidak mau mendapatkan semprotan karena
kebodohan salah satu dari koloni mereka.
Mendapatkan perlawanan yang seperti
itu membuat monyet yang awalnya ingin mengambil pisang tersebut akhirnya
berhenti untuk menginginkannya dan malah menjadi seperti monyet-monyet yang
lain. Dan bahkan ketika monyet baru dimasukkan kedalam kandang tersebut, monyet
tadi pun ikut meneriaki dan menarik monyet baru agar tidak mendekati pisang yang
masih digantung.
Dan tentunya paradoks akan monyet
tersebut terus berulang tanpa henti, ketika monyet baru dimasukkan maka mereka
akan mengamuk bila monyet baru tersebut mendekati pisang disana. Mereka bahkan sampai menarik monyet
yang ingin mendekati pisang tersebut dengan paksa agar mereka juga tidak kena
semprot.
Dari berbagai buku yang saya baca
sebenarnya ada perbedaan hewan yang menjadi bahan penelitian, dalam buku
Fulfilling Life monyet tersebut adalah gorila, namun dalam literasi lain hewan
itu adalah kera, namun yang jelas, hewan tersebut adalah mamalia dari kawanan kera—dan
saya mengambil kata monyet agar anda lebih mampu mengimajinasikannya.
Dan ironi dari cerita tersebut
adalah bahwasanya hal tersebut adalah gambaran manusia sejak lama, sebenarnya
yang menjadi monyet disana adalah kita maupun pendahulu kita. Pernahkah kalian
memulai sesuatu, ingin berjuang, atau mungkin ingin memiliki bisnis sendiri
namun segera dicegat oleh mereka yang gagal terlebih dahulu?
Orang-orang ini tidak ada bedanya
dengan monyet-monyet tersebut, dan bahkan ketika kalian akan memulai sesuatu
mereka akan meneriaki kalian, menarik kalian pada realitas kalian agar kalian
sadar bahwa tidak ada gunanya berjuang sebab kita diciptakan untuk menjadi
biasa-biasa saja.
Dan permasalahannya adalah itu
terus terjadi dari generasi ke generasi, misalnya saja orangtua kita masih
berpendapat bahwa untuk mendapatkan apa yang kita inginkan adalah melalui IPK
yang tinggi. Dengan mendapatkan IPK yang tinggi maka dengan mudah kita akan
mendapatkan pekerjaan yang layak untuk kita, namun sayang dalam abad ke 21 ini
IPK bukanlah lagi penentu suatu kesuksesan, melainkan skill, atittude, dan relasi.
Adanya orangtua kita yang entah
gagal atau berhasil telah membuat mereka lupa bahwa kita bukanlah mereka dan
tidak hidup di zaman yang mereka emban. Ini abad ke 21 dimana keajaiban dapat
terjadi kapanpun dan dimanapun, kita mungkin akan terpukau dengan bocah yang
sudah pandai berbicara atau pintar berbahasa Inggris, atau terpukau dengan
banyak hal lain yang akan kita temukan.
Tapi yang jelas, kita bukanlah
orangtua kita, kita adalah diri kita sendiri. Namun tentunya itu sulit untuk
dilakukan, sebab orangtua pada dasarnya memang selalu ingin ditaati tanpa
pernah memperdulikan apa keinginan anak mereka. Dan ketika anak mereka telah
lulus kuliah, menempuh kehidupan dunia yang sebenarnya namun tidak menjadi
apa-apa, maka merekalah yang pertama kali diintimidasi oleh orangtua mereka. Dan
hal ini kerap membuat manusia menjadi berbeda, ada yang menjadi pemberontak,
insecure, dan yang paling parah, bunuh diri.
Orangtua kita atau pendahulu kita
yang adalah monyet-monyet tersebut hanya tahu apa yang pernah dialami mereka
tanpa pernah membuka pandangan akan zaman yang sedang dihadapi anaknya. Mereka menjadi
penguasa dan menuntut anak-anak mereka untuk menjadi sempurna, sampai anak
mereka pun goblok karena kepala mereka hanya diisi teori tanpa skill yang
mumpuni. Dan ujung-ujungnya? Lawan mereka hanyalah orangtua mereka, yang terus
menuntut anaknya untuk menjadi apa yang mereka inginkan.
Sebagai penulis saya cenderung
curiga apakah hal tersebut karena orangtua kesal pada masa lalu mereka sehingga
menjadikan anak mereka pelampiasan dari segalanya. Mereka para monyet-monyet
itu (orangtua) mungkin menyesal dan tidak mau melihat anak mereka sama seperti
mereka, namun sayang hal tersebut dijelaskan dengan cara yang salah dan malah
membuat anak menjadi patah dan hilang arah. Hal ini bisa saja membuat metafora pohon bambu benar-benar terjadi.
Lalu bagaimana cara mengetahui
ilmu mana yang baik? Bagaimana mengetahui bahwa kita tidak sedang diajari oleh
monyet-monyet yang terlebih dahulu terkena semprot cairan kegagalan? Setidaknya
ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk meng-counter hal-hal tersebut,
diantaranya adalah:
1. Baca Buku
Membaca buku
adalah cara termudah untuk melihat dunia dengan pandangan yang lebih luas,
adanya buku yang kita baca akan membuat otak kita terangsang untuk berpikir
karena terus dihujani oleh berbagai macam kata yang baru maupun yang lama. Hal ini
akan membuat kita lebih banyak mengetahui hal yang baik untuk dilakukan, atau
yang tidak baik untuk dilakukan. Banyak penulis hebat yang lahir dengan
kata-kata mereka yang merubah dunia, entah itu novel, buku pengembangan diri
atau hanya surat kabar, membaca hari ini adalah susunan balok kesuksesan untuk
esok hari.
2. Diskusi
Semua orang suka
bercerita maupun berbicara, apalagi jika ranah tersebut adalah ranah diskusi
maka mereka akan menguarkan pendapat mereka masing-masing. Berdiskusi dengan
orang yang lebih tua dari anda akan membuat anda mengetahui fakta tentang dunia
yang akan anda hadapi, apalagi berdiskusi dengan orang sukses, tentunya ada
petikan-petikan hikmah yang dapat anda jadikan sebagai pijakan dikemudian hari.
3. Berpikir dan Analisa
Diamlah sejenak
dan amati lingkungan anda, analisalah mereka. Apa semua orang yang mendapatkan
IPK tinggi pada akhirnya mendapatkan pekerjaan yang layak? Apa mereka yang
kuliah hidup sejahtera? Bagaimana nasib mereka yang memulai karir mereka
sendiri? Tetaplah melakukan analisa, berpikir dan teruslah berpikir sampai
kalian mengetahui bagaimana cara mencounter kelemahan dan mempertajam kelebihan
yang kalian miliki.
4. Lihat Konten Bermanfaat
Pada abad ke 21
semua bisa dijadikan konten, entah itu di TikTok, Youtube, Twitter, dan
lain-lain. Jejaring-jejaring itu telah lama menjadi media pembagi ilmu yang
baik untuk diterima oleh otak, dan maka dari itulah maka berkelana di media
sosial dengan baik adalah hal yang efektif untuk dilakukan.
Namun tentu hal
tersebut harus membuat siapapun hati-hati, sebab sekali kita berkelana pada
tempat itu maka kita akan langsung dibobol oleh ribuan konten maupun informasi baru
yang akan menjejali otak kita. Bahkan seringkali kita terlena dan hanyut dalam
media sosial itu sendiri sampai lupa apa tujuan kita yang pertama. Jadi berhati-hatilah.
Kesimpulan:
Pada hakikatnya penelitian
tentang monyet tersebut adalah ironi yang terjadi pada masyarakat kita, itulah
mengapa kita harus tetap berhati-hati ketika diberikan nasehat serta terkadang
harus bodo amat dan tuli terhadap perkataan-perkataan orang lain. Sebab jika
tidak begitu, maka kita mungkin akan menjadi monyet selanjutnya yang hanya bisa
menyinyiri kehidupan orang lain tanpa pernah tahu bahwa sebenarnya kita tidak
ingin orang lain lebih baik daripada kehidupan yang kita miliki.
Dan akhir kata, tetaplah berjuang,
entah itu kamu malas atau bagaimana, yang terpenting tetap berjuang dan jangan
pernah berhenti sebab kamu tidak layak disebut monyet!
Posting Komentar untuk "Monkey Donkey"